Demokrasi Permusyaratan (Mengkaji Kembali Pancasila)
Syaiful Arif 
(Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)-Indonesia)
“Nilai yang paling Indonesia ialah usaha perubahan sosial terus-menerus, dengan tidak meninggalkan pijakan atas tradisi dan masa lampau”.(Abdurrahman Wahid, 1989)


Problem demokrasi menyangkut persoalan mendasar: apa dasar normatif sehingga demokrasi tidak menjadi alat bebas nilai yang dimanfaatkan sebagian kecil elit politik demi hasrat kekuasaan? Pendasaran normatif ini terkait dengan cita-cita ideal yang hendak dicapai demokrasi, yang bisa saja berpijak dari nilai-nilai yang ada di masyarakat tempat demokrasi itu dipraktikkan.

Memang pendasaran normatif seperti ini sering irrelevan, ketika dihadapkan pada fakta, bahwa politik adalah soal siapa menguasai apa dengan cara bagaimana? Di  negeri kitapun sama. Apa yang kita sebut demokratisasi pasca Reformasi 1998 ternyata hanya menghidangkan pertarungan elit politik dalam wujudnya yang paling banal: oligarki. Wujud oligarkis ini nampak pada menumpuknya kekuasaan pada segelintir petinggi partai akibat kepemilikan uang yang berujung pada kepemilikan kekuasaan. Ya, dalam oligarki pasca Reformasi, uang berkelindan dengan kekuasaan. Siapa yang memiliki uang besar, ia akan mampu meraup kekuasaan. Siapa yang berkuasa, ia akan meraup kekayaan. Sumber dari politik kita akhirnya uang, dan bermuara pula kepada uang.

 

Pancasila dengan segenap normativitasnya sering dipahami sebagai normativitas itu sendiri, yang “tanpa gigi”. Padahal Pancasila, amat sederhana. Ia tak lain, lima prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang teruang secara nasional (bangsa) dalam wadah negara. Pancasila adalah dasar yang mengharuskan penghormatan terhadap kemanusiaan, menuju keadilan sosial berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalamnya tentu memuat pandangan dunia, karena ia memanglah Weltanschauung kehidupan kebangsaan kita, selayak titah Soekarno.

Maka, jika demokrasi liberal memiliki perjuangan normatif berupa otonomi (kebebasan) individu, sebagai penghormatan harkat manusia. Demokrasi sosial(is) memiliki perjuangan normatif berupa kesetaraan ekonomi. Demikianpun Pancasila, tentunya bisa menyediakan lambaran normatif, tempat praktik demokrasi di Indonesia dipijakkan. Artinya, demokrasi di negeri ini semestinyalah memiliki karakter sendiri, yang berpijak pada dasar normatif yang melatari konsepsinya. Sebab, bukankah apa yang kita sebut demokrasi liberal dan sosial(is) juga memiliki landasan ideologisnya? Ketika sebuah demokrasi disebut liberal, berarti ia terdasari oleh filsafat liberalisme. Ketika demokrasi disebut sosil(is), maka ia pastinya terlambari filsafat sosialisme. Jadi membentuk demokrasi berlandaskan filsafat Pancasila, tentu tak mustahil jua.

Pada ranah kebudayaan, perumusan demokrasi berdasar nilai-nilai Pancasila merupakan kebutuhan mendasar bagi terhubungnya sistem dan Lebenswelt (dunia-kehiduupan). Saat ini, kita memang telah mengalami apa yang Habermas sebut sebagai kolonisasi sistem atas Lebenswelt. Dalam situasi ini, sistem (negara) telah mengoloni, menjajah dunia-kehidupan, tempat masyarakat dan cita-cita masyarakat tersemaikan. Hal ini memang menjadi patologi dari modernitas. Sebuah patologi yang telah memisahkan sistem, yang semula dibangun manusia demi pengaturan dunia-kehidupan. Saat ini, sistem itu telah terpisah, menjadi dirinya sendiri, hidup dalam logika, kepentingan dan degub jantungnya sendiri. Terpisah dan memisahkan diri dari cita-cita awal pembentukannya.

Bahkanpun Pancasila pernah mengalami situasi tersebut. Seperti kita tahu, Orde Baru pernah melakukan hal itu, melalui monolitisisme tafsir Pancasila, sehingga menjadikan falsafah negara itu sebagai benteng pertahanan sekaligus alat represif-koersif negara untuk memberangus ideologi dan kekuatan rakyat yang dianggap subversif. Pancasila, yang pada dasarnya berisi prinsip dasar penjaminan hak asasi rakyat yang harus diwujudkan negara, malah menjadi “bedil ideologis”, tempat negara menembaki kekritisan rakyat.

Atas nama jargon “menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen”, negara kemudian melakukan dua hal. Pertama, menutup penafsiran yang lain atas Pancasila yang berbeda dengan tafsir negara. Hal ini terdapat dalam terma “menjalankan Pancasila secara murni”. Jadi negara telah melakukan puritanisme Pancasila, dengan membersihkan tafsir-tafsir masyarakat sipil yang berpotensi membahayakan kekuasaan. Kemurnian Pancasila menjadi alat legitimatif bagi negara untuk menjaga dirinya dari serangan pemikiran, kritik, dan “analisa kerakyatan” yang hendak menghujat negara, karena ketidakadilan yang telah diciptakannya. Kedua, melalui “menjalankan Pancasila secara konsekuen”, Orde Baru telah menghapus ideologi Marxian dan Islamis, yang menurut negara berpotensi subversif. Artinya, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas (azas tunggal) adalah konsekuensi ideologis, dari pemurnian Pancasila. Jadi pada titik ini, setelah Pancasila dimurnikan dari “penafsiran menyimpang” ala gerakan sipil, ia kemudian dijadikan satu-satunya ideologi bagi semua organisasi sosial dan politik. 

Lalu bagaimanakah kita menempatkan Pancasila setelah ia terpolitisasi oleh Orde Baru? Saat ini situasinya lain. Pasca runtuhnya Soeharto, Pancasila malah dilupakan. Mungkin ini terkait dengan trauma atas politisasi Pancasila oleh Orde Baru. Artinya, masyarakat kita enggan dengan Pancasila karena ia dianggap setali tiga uang dengan rezim yang dibenci rakyat itu. Namun persoalan tentu bukan hal itu saja. Secara mendasar, masyarakat kita memang belum menyelesaikan “pekerjaan filosofis” berupa memaknai dan menghidupkan Pancasila ini. Ini yang membuat falsafah negara tersebut dengan mudah raib begitu saja dari kehidupan kita. Ini yang membuat kita tak mampu menemukan makna, manfaat, dan arti Pancasila, sejak dalam tata negara, tata politik, dan tata keseharian hidup kita.

Hal ini memang tak semata kesalahan masyarakat kita. Kita tak salah ketika melihat Pancasila begitu formal milik negara. Kita tak salah ketika tak menemukan makna apa-apa dalam Pancasila. Kita tak salah ketika Pancasila seakan tiada manfaatnya dalam kehidupan real kita. Kita tak salah ketika negara dan falsafah negara itu begitu jauh dari keseharian kita. Sebab yang bermasalah ialah pola sosialisasi Pancasila selama ini. Yang bermasalah ialah sistem pemaknaan atas Pancasila selama ini. Yang bermasalah ialah jurang yang sengaja dicipta, antara negara dan masyarakat. Antara Pancasila yang normatif menjemukan, dengan hidup rakyat yang nestapa.

Pemimpin politik dan pendidikan kita tidak mengajarkan arti substantif Pancasila, terhadap kemanfaatan hidup kita, sebagai warga negara maupun sebagai manusia yang berhak hidup secara sejahtera. Padahal letak Pancasila di sana. Yakni pada titik tegang antara manusia sebagai warga negara, yang dengan posisinya sebagai warga tersebut, harkat dirinya sebagai manusia diagungkan dan dijamin haknya. Inilah yang paling mendasar. Dalam Pancasila, manusia sebagai pribadi dan ras universal diangkat derajatnya menjadi warga negara. Dalam posisinya sebagai warga, manusia diharapkan bisa terpenuhi kebutuhan dasarnya. Jadi negara didirikan tentu untuk manusia, bukan sebaliknya.

Hal ini niscaya sebab dalam Pancasila, manusia begitu diagungkan. Dua sila utama memuat hal ini. Yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila kemanusiaan menempati urutan kedua setelah ketuhanan. Artinya, kemanusiaan menjadi pekerjaan pertama yang harus dilakukan, karena ketuhanan lebih merupa dasar dari segala sesuatu. Setelah itu, ujung dari Pancasilapun memuara pada cita keadilan bagi  seluruh rakyat, seluruh manusia. Ini berarti, pekerjaan pertama dan ujung cita-cita dari Pancasila ialah kemanusiaan. Kemanusiaan yang beradab, berupa keadilan sosial dan kesejahteraan hidup. 

Sayangnya, Pancasila saat ini memang telah terpenjara dalam kolonisasi kebudayaan. Artinya, Pancasila berada di “titik problematik”, ketika kebudayaan terkolonisasi oleh sistem. Pada titik inilah, Pancasila yang berada di keduanya, yakni berada di cita-cita luhur kebudayaan, sekaligus berada di dalam sistem negara, telah terkolonisasi. Pancasila sebagai kebudayaan, telah terkolonisasi oleh Pancasila sebagai sistem. Ini yang membuat segenap nilai luhur yang harus diperjuangkan oleh negara dan semua warga negara, “tak punya gigi”, dan tak mampu terealisasi.

Nilai-nilai Pancasila yang begitu sempurna, melampaui sekat benturan ideologi dan keterbatasan antar-konsep politik, akhirnya menjadi kata-kata simbolik yang dihafalkan, tetapi tak dirasakan kekuatannya. Pancasila yang oleh Bung Karno disebut sebagai pandangan-hidup (Weltanscahuung), tak mampu menjadi pandangan hidup itu sendiri, yang membuat rakyat Indonesia, berpikir dan berperilaku berdasar pandangan hidup tersebut. Pancasila tak mampu menjadi sistem makna yang membuat manusia Indonesia, hidup dalam kebermaknaan. Pancasila tak mampu menjadi etika politik yang membuat para penyelenggara negara, menata negara berdasar beban moral yang harus dituntaskan.  Pancasila tak mampu menjadi etika sosial yang membuat setiap orang, melakukan kritik ketika ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Pancasila bahkan hanya disadari sebagai dasar negara, dan dasar negara begitu menakutkan serta menjemukan. Ia dipajang, menjadi hiasan yang harus diletakkan di dinding-dinding rumah, kantor, departemen, namun ia hanya menjadi hiasan tanpa makna.


Krisis demokrasi

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan atas krisis demokrasi. Ini yang membuat penulis mengajukan Pancasila sebagai alternatif konseptual dari krisis demokrasi yang telah dialami oleh beberapa varian model demokrasi. Tentu, meski demokrasi Pancasila banyak memiliki kelemahan, sejak dalam bangunan konseptualnya maupun praksis di real politics, namun sebagai dasar filosofis bagi demokrasi, Pancasila adalah cita-cita luhur yang lahir dari “bumi kebajikan” negeri kita, yang bisa dikomparasikan dengan ragam konsep demokrasi dari negeri Barat.

Pastinya penulis tak akan terjebak menjadi Soekarno dan Soeharto. Tak akan terjebak dalam retorika heroik yang mendaulat demokrasi Pancasila sebagai kepribadian bangsa yang menolak secara mentah liberalisme dan apa yang Bung Karno sebut, demokrasi Barat. Tak akan terjebak dalam pensaktian Pancasila sehingga ia harus dipahami secara murni dan konsekuen, yang berarti memberangus paham liyan seperti Marxisme dan Islamisme, selayak Pak Harto. Penyandingan diskursus demokrasi dan diskursus Pancasila berangkat dari kehendak penulis untuk membumikan wacana demokrasi ke dalam “tubuh falsafah kenegaraan” kita. Sebab seperti kita tahu, sebagai bangsa dan negara, kita telah lama memiliki mutiara berharga yang menjadi panduan hidup. Panduan itu ternyata ideal bagi cita-cita demokrasi yang berperi-kemanusiaan dan peri-keadilan. Karena sebagai bangsa kita telah memilikinya, mengapa tidak kita maksimalkan “modal kebajikan” itu sebagai dasar bagi perumusan konsep demokrasi, yang melintasi kutub liberalisme dan kutub komunisme.

Pada titik ini, krisis demokrasi yang membuat penulis mengajukan Pancasila sebagai satu alternatif konseptual ada beberapa hal. Pertama, keterjebakan prosedural. Saat ini kita tengah mengalami keterjebakan demokrasi prosedural. Dalam keterjebakan ini, “yang prosedur” telah menjadi realitas ontologis dari demokrasi. Memahami demokrasi tiada lain memahami prosedur demokrasi itu sendiri. Hidup matinya demokrasi hanya dilihat dari degub jantung dari prosedur demokrasi. Dari sini alat menjadi tujuan, dan prosedur demokrasi menjadi tujuan dari demokrasi.

Begitulah. Pemilu telah menjadi penanda utama bagi demokrasi. Ketika ia ada, maka sudah dianggap demokratislah praktik politik kita. Tergelarnya rapat anggota DPR, secara otomatis menandakan hidupnya demokrasi, terlepas apakah rapat tersebut membuahkan kebijakan pro-rakyat atau tidak. Berkecambahnya partai-partai politik menandakan tersemainya demokrasi, sebab ia menggambarkan tergelarnya kebebasan sipil dan politik. Terlepas apakah partai-partai itu memang sungguh berangkat dari keinginan berbakti kepada rakyat ataukah hanya kendaraan kepentingan belaka. Mapannya lembaga-lembaga politik, seperti eksekutif, yudikatif dan legislatif secara otomatis menandakan mapannya demokrasi, padahal secara nyata, trias politica itu belum maksimal dalam menjalankan tugas kerakyatan.

Dari realitas ini, maka tak heranlah ketika pada dekade 1990, Abdurrahman Wahid pernah mencetuskan istilah “demokrasi seolah-olah”. Jadi saat itu, kala kualitas demokrasi hanya diwakili oleh keberadaan lembaga demokrasi, maka kualitas demokrasi hanya seolah-olah. Seolah-olah demokrasi, sebab ada lembaga-lembaga politik, namun praktik politiknya belumlah demokratis, atau bahkan anti-demokrasi, sebab lembaga-lembaga tersebut menjadi alibi rezim, bahwa negara telah melaksanakan demokrasi, sehingga setiap gerak masyarakat sipil yang berlainan (bertentangan) dengan lembaga tersebut, dianggap subversif dan akhirnya menentang demokrasi. Demokrasi di era itu menjadi “demokrasi institusional” semata, sebab pengklaiman keberadaan dirinya terhenti pada institusi.  Padahal institusi politik tersebut hanya media bagi perwujudan nilai-nilai demokrasi. Institusi adalah jembatan yang menghubungan idealitas normatif nilai demokrasi, dengan lapangan politik tempat politisi berjibaku di tengah harapan rakyat yang tak jua terpenuhi. Maka, demokrasi tak bisa dihentikan pada level kelembagaan. Ia harus menggerakkan lembaga tersebut, menjadi praktik politik demokratis.

Kedua, majoritarianisme. Inilah kelemahan teoritis (vulnerability) demokrasi. Yakni keterjebakan pada legitimasi sosiologis, bukan etis. Artinya, kedaulatan rakyat yang menjadi akar demokrasi, hanya dibatasi pada ranah sosiologis: kedaulatan rakyat terwujud dalam banyaknya rakyat yang mendukung satu kebijakan.  Bukan secara etis yang menempatkan harapan kerakyatan seperti keadilan dan kesejahteraan sebagai legitimasinya. Dari sini demokrasi akhirnya menjadikan prinsip mayoritas, sebagai klaim keabsahan suatu pemerintahan, kekuasaan, dan kebijakan. Bagi pemahaman ini, kebijakan yang demokratis adalah kebijakan yang didukung oleh banyak orang.  Hal ini yang melahirkan mekanisme voting (penghitungan suara), untuk mengetahui seberapa banyak (wakil) rakyat yang mendukung satu kebijakan.

Hal ini tentu bermasalah sebab kebijakan bisa didukung mayoritas rakyat, yang secara real diwakili oleh mayoritas anggota DPR, bisa saja tidak pro-rakyat. Mengapa? Karena legitimasi sosiologis tidak berhasrat menemukan kebenaran, melainkan sekadar mencari dukungan. Keabsahan kebaikan dalam kebijakan itu tidak disandarkan pada struktur internal kebenaran, melainkan pada seberapa banyak angka (suara) yang mendukungnya. Maka, legitimasi sosiologis mendasarkan diri pada “kekuatan kuantitas”, bukan “kualitas kebenaran”. Legitimasi sosiologis hanya berhasrat pada kekuasaan, bukan perjuangan etis dari satu kebenaran.  Misal sederhana terjadi pada perselingkuhan antar-partai di parlemen untuk memuluskan satu proyek pembangunan, yang dikorup anggaran dananya. Karena disepakati mayoritas dewan, maka anggaran yang telah dikorup sah secara politis-yuridis, dan rakyat tidak tahu bahwa anggaran itu telah disunat untuk dibagi-bagi ke setiap anggota DPR yang menyepakati proyek tersebut. Hal sama pada keinginan satu rezim yang ingin melanggengkan kekuasaan. Diubahlah konstitusi untuk melapangkan jalan bagi langgengnya kekuasaan sang rezim. Maka DPR, atas nama mayoritas “mengetok palu”, dan sahlah kebijakan itu. Telah ada banyak kebijakan yang anti-demokrasi dan hanya menguntungkan penguasa yang disahkan melalui legitimasi sosiologis, dan hal ini menjadi kelemahan demokrasi yang belum jua tersolusikan.

Kelemahan ketiga, kebebasan negatif. Dalam wacana demokrasi, terdapat dua macam kebebasan yang cenderung saling bertentangan, padahal sebenarnya saling melengkapi. Yakni kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif adalah bebas dari (freedom from) hambatan, kekangan, kekuasaan dan diskriminasi yang membuat individu tak bisa memenuhkan potensinya. Ia disebut negatif, karena kenegatifannya (ketiadaannya) menjadi syarat bagi terpenuhinya kebutuhan manusia untuk memaksimalkan potensinya. Dalam faktanya, potensi yang hendak dipenuhi oleh kebebasan negatif ini adalah potensi politik. Ini yang melahirkan hak sipil; hak untuk berbicara, berpendapat, berpikir dan berorganisasi, serta hak politik yakni hak untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat. Kedua hak ini membutuhkan kebebasan negatif, sebab dalam rezim otoriter yang memangkas kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menjadi anggota DPR, hak sipil-politik ini mustahil terpenuhi. Kita pernah mengalami situasi ini selama Orde Baru, dan Reformasi 1998 akhirnya menjadi misal ideal bagi perjuangan untuk mendapatkan kebebasan negatif tersebut.

Sementara itu, kebebasan positif adalah kebebasan untuk (freedom for) memenuhi kebutuhan mendasarnya. Sebenarnya, semua konsep kebebasan berangkat dari asumsi dasar sama: hanya orang itu yang tahu akan dirinya sendiri, maka orang itu perlu kondisi bebas yang membuatnya bisa mengarahkan diri, menggali potensi, dan membentuk dirinya sesuai dengan kesadarannya. Demikianpun kebebasan positif yang tentunya membutuhkan kebebasan negatif, sebab tanpa hilangnya kekangan, maka kebebasan untuk memenuhi kebutuhan diri, mustahil terlaksana. Hanya saja dalam wacana demokrasi, kebebasan positif akhirnya dijadikan konsep tandingan atas kebebasan negatif, sebab yang kedua sering meniadakan yang pertama. Artinya, uforia kebebasan negatif telah melenakan, sehingga membuat para pelaku kebebasan abai terhadap kebebasan positif. Hal ini wajar sebab kebebasan positif terkait dengan hak sosial-ekonomi. Jadi pemenuhan hak sosial-ekonomi. Yang diperjuangkan kebebasan positif adalah pemerataan hak untuk mengakses kondisi material dan kondisi sosial yang membuat rakyat bisa ikut menikmati fasilitas sosial-ekonomi, sehingga kebutuhan mendasarnya terpenuhi. 

Pada titik inilah krisis demokrasi terletak pada lebih dominannya kebebasan negatif tinimbang keseimbangan antara kebebasan negatif dan positif. Hal ini bisa dipahami mengingat keruntuhan Orde Baru tentu melahirkan uforia kebebasan negatif, sebab corak kebebasan ini yang dirindukan oleh Reformasi 1998. Hanya saja, setelah sekian waktu berjalan, dan segenap kebebasan negatif ternikmati, demokrasi tak jua memberikan kesejahteraan seperti harapan rakyat. Satu harapan yang terdapat di dalam perjuangan Reformasi itu sendiri. Hal ini terjadi karena pemahaman masyarakat kita yang semata anti-otoritarianisme. Artinya, yang menggerakkan Reformasi adalah keinginan meruntuhkan rezim politik otoriter. Rezim ini yang menjadi musuh besar dari kebebasan negatif, sebab ia mencipta pengekangan akan kebebasan. Setelahnya, belum ada kesadaran akan kebebasan positif yang membuat para aktor politik menyadari, bahwa selepas mereka berhasil “menjadi negara”, berhasil menikmati kebebasan berpartai, kebebasan berpendapat, kebebasan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, yang perlu diperjuangkan ialah kebebasan positif.

Ini berarti suatu arus balik, dari kehendak “menjadi negara”, kepada kesadaran “memberikan negara” kepada rakyat. Sebab, buah dari kebebasan negatif pasca Reformasi 1998 ialah terbelahnya masyarakat kita menjadi aktor politik yang secara resmi mengatur negara, dengan rakyat biasa yang hanya bisa memilih para aktor tersebut dan menonton pertarungan elit politik sembari mengelus dada. Krisis demokrasi terletak pada keterjebakan kesadaran akan kebebasan yang murni negatif, sehingga meniadakan kebebasan positif. Dalam keterjebakan inilah demokrasi akhirnya tak dianggap bertanggungjawab atas kemiskinan dan ketidakadilan. Demokrasi hanya berurusan dengan pemilu, suksesi kepemimpinan, dan prosedur politik yang ada di lembaga negara. Demokrasi akhirnya hanya berurusan dengan kebebasan negatif. Para aktor politik yang pada momen Reformasi begitu getol menyuarakan pentignya kebebasan negatif, telah menjelma diktator baru, bukan diktator militer ala Soeharto, melainkan “diktator terpilih” yang setelah terpilih “menjadi negara”, kemudian lupa akan tugas etis, baik yang diemban oleh Reformasi maupun dikoarkan saat mereka kampanye.

Sila demokrasi

Pada titik inilah, apa yang penulis sebut sebagai demokrasi Pancasila meruang dalam dua sila terakhir, yang dilambari oleh dua sila pertama dari Pancasila. Artinya, landasan normatif dari demokrasi Pancasila adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sementara karakter dan tujuan konseptualnya adalah sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Hal ini terkait dengan peran penting sila ketuhanan, yang membuat ketuhanan dalam Pancasila sebagai ketuhanan berkebudayaan. Yakni sebuah konsep ketuhanan, yang mewujud diri dalam kerja kebudayaan. Tentu karena kebudayaan bukan melulu persoalan artefak atau panggung seni, namun semua usaha manusia mengolah hidup berdasarkan daya-budi, maka kerja kebudayaan dalam ketuhanan, pastilah kerja-kerja kemanusiaan. Jadi, apa yang Soekarno sebut sebagai ketuhanan berkebudayaan, adalah perwujudan nilai-nilai ketuhanan dalam kerja kemanusiaan, persatuan dalam kemajemukan, hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi rakyat. Ketuhanan berkebudayaan, adalah sila ketuhanan Pancasila yang menubuh dalam keempat sila di bawahnya.

Maka, demokrasi Pancasila adalah konsep demokrasi yang mendasarkan diri pada ketuhanan. Bahkan secara spesifik, Soepomo dan Hatta sampai menegaskan hal ini dengan terma teo-demokrasi. Tentu ia bukan teo-demokrasi ala Abu A’la al-Maududi yang hendak menjadikan ketuhanan Islam sebagai landasan legal demokrasi. Teo-demokrasi ala Pancasila bukanlah negara Islam, sebab ketuhanan itu sendiri telah diturunkan dari “langit teologis” kepada “bumi publik”. Artinya, nilai ketuhanan Pancasila adalah nilai-nilai mendasar dari semua tradisi agama, yang tidak lagi “menjadi agama” itu sendiri, melainkan telah menjadi “agama publik” (public religion).  Ya, ketuhanan Pancasila adalah nilai-nilai mendasar dalam ketuhanan yang diambil dari tradisi keagamaan, tetapi ia kemudian dijadikan sebagai etika publik, sehingga nilai-nilai ini bukan representasi dari normativitas legal keagamaan. Pada titik inilah, ketuhanan kemudian menjadi etika publik. Nilai kesuciannya sama dengan agama, sehingga ia disebut “agama publik”. Yakni suatu nilai-nilai sakral yang menjadi cara-terang bagi kehidupan publik yang baik.

Dalam setiap agama, terdapat ajaran tentang “yang publik” ini. Di dalam Islam ada ajaran tentang keadilan (‘adalah), persamaan (musawah) dan musyawarah (syura). Bahkan perintah untuk berbuat adil tidak hanya dalam ruang normatif, melainkan dipraksiskan dalam perintah zakat, sebagai salah satu dari rukun Islam. Zakat menjadi etika publik menurut Islam, sebab ia memerintahkan kepedulian terhadap yang tak punya, dengan mensisipkan hak mereka di setiap harta kaum muslim.  Hal sama dalam tradisi Kristen, yang mengakarkan pengutusan Kristus sebagai keberpihakan Tuhan kepada manusia. Tuhan ingin ikut merasakan penderitaan manusia, sehingga Dia turun ke bumi dalam bentuk daging (Yesus). Ini yang membuahkan teologi pembebasan, yang memperluas cakupan pengabdian para pendeta, tidak di ruang formal Gereja, melainkan di rumah para fakir miskin. Teologi pembebasan menolak praktik keagamaan yang menjelma “praktik kerajaan” Gerejawi, dan menandaskan tugas pembebasan dari agama bagi ketertindasan manusia.

Dari sini bisa terlihat, bahwa setiap agama memiliki ajaran tentang pengabdian kemanusiaan. Suatu amal dari iman, yang menjadi kesempurnaan dari iman tersebut. Iman tanpa amal, adalah persaksian tanpa bukti. Tubuh tanpa ruh. Dalam dimensi amal inilah, ibadah sosial menjadi titik tekan dari setiap tradisi agama. Ibadah sosial ini yang searah dengan etika publik, sehingga ketuhanan dalam Pancasila akhirnya disebut sebagai “ketuhanan publik”, sebab ia mempraksiskan nilai ketuhanan dalam ibadah sosial. Hal sama terjadi sebaliknya. Karena penghormatan atas harkat manusia, serta perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial telah termaktub dalam perintah suci dalam setiap agama, maka kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila, layak disucikan sebagai nilai-nilai keagamaan. Oleh karenanya, ketuhanan dalam Pancasila menjadi “agama publik”, sebab ia menggerakkan ibadah sosial yang menjadi perintah suci setiap tradisi agama.

Pada titik inilah, demokrasi Pancasila berakar dari tradisi ketuhanan yang telah menggerakkan nilai-nilai dasar keagamaan, sebagai etika publik. Ini yang membuat ketuhanan dalam Pancasila menjadi ketuhanan berkebudayaan. Sebuah “agama publik”, sebab nilai-nilai Pancasila itu sendiri bersifat publik. Demokrasi Pancasila bersifat ketuhanan, karena nilai-nilai luhur, seperti kemanusiaan dan keadilan sosial telah menjadi bagian dari tradisi keagamaan. Dengan demikian, demokrasi Pancasila bukanlah konsep sekular. Bukan tradisi konseptual yang lahir dari pandangan dunia Newtonian, yang menganggurkan Tuhan, ketika Dia telah mencipta hukum alam yang baku. Demokrasi Pancasila, oleh karenanya tidak berangkat dari hukum alam, selayak pandangan politik Barat, yang menempatkan perjuangan kemanusiaan di dalam kemanusiaan itu sendiri. Segenap perjuangan humanistik dari demokrasi Pancasila bersumber pada pijakan ketuhanan dan keagamaan. Oleh karenanya, tujuan demokrasi Pancasila bukanlah kemanusiaan dan keadilan sosial as itself. Ia melampaui ranah antropomorfistik, untuk naik ke langit-langit transendental.

Artinya, perjuangan kemanusiaan yang oleh tradisi Barat, menjadi perjuangan sekular, oleh Pancasila dikembalikan lagi kepada pijak ketuhanan. Maka, perjuangan kemanusiaan bukanlah wujud dari kedigdayaan manusia yang mampu mengolah dan menguasai dunia. Perjuangan kemanusiaan dalam Pancasila adalah pelaksanaan tugas kehambaan, yang menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil arld). Dalam ranah praksis, pijakan ketuhanan ini akan membuat Pancasila, mau mengakomodir segenap nilai-nilai keagamaan, dalam perumusan kebijakan, dan dalam “modal konseptual” bagi gerak normatifnya. Hal ini berbeda dengan tradisi pemikiran demokrasi sekular, yang telah meminggirkan sama sekali, kebajikan-kebajikan agama dari ruang publik.

Pijakan normatif kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan, yang termaktub dalam sila kedua. Ya, demokrasi Pancasila mendasarkan diri tepat di jantung nilai yang paling mendasar, yakni kemanusiaan. Mengapa kemanusiaan disebut nilai paling mendasar? Karena kemanusiaan adalah karakter utama hidup dan perjuangan manusia. Melalui kemanusiaan, manusia mengolah hidup dan juga dirinya sendiri secara manusiawi, dan oleh karenanya layak disebut manusia. Tanpa kemanusiaan yang terwujud dalam penghormatan atas derajat manusia yang beradab, serta perjuangan mewujudkan kehidupan manusia yang adil, kehidupan manusia tidak disebut manusiawi. Oleh karenanya, kemanusiaan menjadi realitas ontologis dari manusia, sebab dengannya, kehidupan manusia layak disebut manusiawi.

Dengan demikian, Pancasila akhirnya tidak semata falsafah politik. Ia adalah falsafah kebudayaan. Atau jika meminjam istilah Soekarno, suatu falsafah hidup. Dalam terang falsafah kebudayaan, Pancasila telah menempatkan diri sebagai “titik gerak” dari kebudayaan, sebab hakikat kebudayaan adalah usaha pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Man humanizes himself in humanizing the wordl around him.  Demikian tandas Bakker. Pada titik ini, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai pijakan normatifnya, maka Pancasila hendak mengembalikan seluruh praktik hidup, politik, dan kenegaraan pada cita-cita paling mendasar dari umat manusia, yakni kemanusiaan.

Pancasila oleh karenanya bukan ideologi negara yang hendak menjadikan manusia sebagai robot-budak yang harus tunduk mengabdi kepada negara. Bukan “payung legitimatif” yang menempatkan negara sebagai supra-muara-suci, di mana segenap elemen kehidupan dan kemasyarakatan harus memuara ke sana. Pancasila karena memijak diri pada kemanusiaan justru bersikap sebaliknya. Menghaturkan negara, kerja politik, dan segenap kerja pemerintahan dalam NKRI, kepada pengangkatan harkat manusia, agar semua manusia di Indonesia bisa hidup layak, beradab, dan adil. Layak berarti bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan sebagaimana kebanyakan orang yang bisa menikmatinya. Beradab berarti bisa memenuhkan potensi ruhaniah, intelektual, dan manusiawinya agar bisa hidup, sekualitas manusia. Bukan binatang yang tak memiliki fakultas akal-budi. Adil berarti bisa hidup dalam “titik tegang” keadilan, yang membuat manusia Indonesia tidak sengsara dalam ketimpangan hukum, politik, dan ekonomi.

Pendasaran atas kemanusiaan menjadikan Pancasila, menghunjam hingga ke relung persoalan yang paling mendasar dari umat manusia, yakni kemanusiaan itu sendiri. Ia berarti meniadakan tujuan-tujuan lainnya, yang sering diklaim sebagai “tujuan suci”, seperti membela negara, mempertahankan tanah air, membesarkan nama Allah, memperjuangkan Islam, berbakti kepada Pancasila itu sendiri, hidup selaras dengan pembangunan nasional, dan segenap “hal besar” di luar manusia yang mensub-ordinasikannya di bawah cita-cita besar yang bersifat supra-human. Pancasila dengan tepat meniadakan semua itu. Perjuangannya bukan demi negara, bangsa, tanah air, Islam, pembangunan, bahkan Allah. Karena ketuhanan dalam Pancasila adalah ketuhanan berkebudayaan, maka kebaktian kepada Allah-pun bersifat manusiawi. Artinya, harus membumi dalam kebaktian kepada manusia. Pancasila juga tidak menjadikan dirinya sebagai muara-normatif, tempat manusia diwajibkan tunduk kepadanya. Inilah yang bermasalah dalam doktrin Orde Baru, yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara yang sakti, yang harus dijadikan tempat sesembahan, dijaga secara murni dan konsekuen, dan akhirnya menjadi simbol negara angkuh, di mana rakyat harus tunduk takut kepadanya.

Dari dua sila awal ini saja, kita telah menemukan kecerdasan Pancasila. Yakni dalam penyandingan ketuhanan dan kemanusiaan. Agama tanpa kemanusiaan akan melahirkan radikalisme agama yang atas nama Tuhan, halal menumpahkan darah saudara sendiri. Kemanusiaan tanpa agama akan melahirkan sekularitas, dan meniadakan nilai-nilai keagamaan di dalam ruang publik. Ruang di mana urusan manusia diatur oleh manusia sendiri secara digdaya. Penyandingan keduanya telah melahirkan agama yang rasional dan inklusif. Rasional karena ia keluar dari urusan privat keagamaan, untuk keluar ke ranah publik, memikirkan persoalan manusia.

Akhirnya agama di dalam Pancasila tidak semata menjadi ritual liturgis, tempat orang-orang secara egois merayu Tuhan agar masuk surga sendirian. Agama dalam Pancasila akhirnya menjadi agama kemanusiaan, yang mengolah tradisinya agar menjadi “senjata rasional” bagi perjuangan kemanusiaan. Melalui kerja kemanusiaan, agama tidak akan bersifat skripturalis. Ia tidak hanya taklid kepada teks suci secara buta, dan memaksakan teks itu dalam konteks yang tentu tak sama. Dengan kerja kemanusiaan, tekstualitas agama akhirnya didialogkan dengan kenyataan, sebab yang paling penting memanglah pengolahan kenyataan agar teks suci bisa menerangi kegelapan nasib manusia.

Hal sama dengan hubungan kemanusiaan dengan ketuhanan. Dalam terang ketuhanan, kerja kemanusiaan tidak akan mendaulat manusia sebagai subjek super yang maha-segala. Tidak akan menjebak kerja kemanusiaan dalam sekularisme yang mendaulat kemanusiaan tersebut sebagai agama baru, yang meniadakan agama-agama. Dalam terang ketuhanan, kerja kemanusiaan tetap menempatkan manusia sebagai titik poros dunia, namun ia hanya titik debu dari ribuan debu bumi yang tak ada artinya di hadapan Tuhan. Oleh karenanya, kerja kemanusiaan, kerja keduniawian dan kerja publik tidak akan menjadikan manusia sebagai “yang super”, dan oleh karenanya meniadakan Tuhan dalam urusan dunia. Meniadakan agama dalam urusan publik. Kerja kemanusiaan akan tetap memijakkan diri pada kebajikan tradisional yang lahir dari kearifan lokal yang tentunya bersifat ketuhanan, maupun dari ajaran normatif keagamaan. Dengan demikian kerja kemanusiaan tidak akan mencerabut manusia Indonesia dari kulturnya sendiri, sebab sering kultur kita bermuatan nilai-nilai ketuhanan yang melimpah ruah.  

Maka, dengan memijakkan diri pada ketuhanan yang berkemanusiaan, dan kemanusiaan yang berketuhanan inilah, Pancasila mendasarkan konsepsi diri, sistem dan tujuan normatifnya. Jadi, sila demokrasi dalam Pancasila, yakni sila permusyawaratan/perwakilan dan sila keadilan sosial, diterangi oleh sandaran normatif berupa ketuhanan-kemanusiaan tersebut. Dengan demikian, keadilan sosial adalah bentuk operasional dari perjuangan kemanusiaan. Sementara nilai ketuhanan yang berkebudayaan itu, bisa dan harus menjadi hikmat/kebijaksanaan yang memimpin proses permusyawaratan/perwakilan. Tentu dalam ketuhanan berkebudayaan tersebut, terdapat nilai keadilan sosial, kemanusiaan, dan penghargaan atas kemajemukan bangsa yang menjadi sila ketiga.

Memang sila ketiga tidak secara eksplisit menjadi “isi praksis” dari demokrasi Pancasila. Sila ketiga yang berisi penghargaan atas kemajemukan bangsa lebih berposisi sebagai conditio sine qua none bagi tergelarnya demokrasi. Artinya, tanpa persatuan dalam kemajemukan, demokrasi secara otomatis batal terjadi. Hal sama terjadi pada penghargaan atas pluralitas yang sering dijadikan sebagai indikator bagi tegak tidaknya masyarakat demokratis. Kenapa penulis hanya memilih sila keempat dan kelima sebagai sila demokrasi? Jawabnya sederhana. Karena kedua sila itu, menyediakan tujuan praksis dan mekanisme politik dari demokrasi. Penulis akan mempertanggungjawabkan hal itu.  

Pada titik ini, sila keempat menjadi “isi mekanis” dari demokrasi Pancasila, sebab ia berisi tentang mekanisme permusyawaratan/perwakilan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan. Artinya, sila keempat memberikan petunjuk mekanis, dari mekanisme demokrasi Pancasila yang merujuk pada permusyawaratan. Dalam musyawarah ini, keputusan tidak semata diserahkan kepada pemungutan suara (voting). Melainkan melalui musyawarah komunikatif sehingga melahirkan konsensus rasional berdasar hikmat/kebijaksanaan. Dengan demikian, demokrasi permusyawaratan secara otomatis menganulir kelemahan teoritis demokrasi yang berpijak pada legitimasi sosiologis, bukan etis. Maka sebaliknya. Demokrasi Pancasila menjadikan perdebatan etis dalam sebuah musyawarah komunikatif, sebagai dasar legitimasinya. Seberapa jauh sebuah kebijakan disepakati, dalam suatu musyawarah komunikatif, maka sebuah kebijakanpun sah secara etis. Tentu proses kesepakatan ini menyertakan syarat-syarat musyawarah rasional, yang diterangi oleh hikmat/kebijaksanaan, dan mekanisme komunikasi yang tidak bersifat memaksa. Dari sini menjadi mafhum bahwa syarat sah tidaknya keputusan politik tergantung dari etis tidaknya keputusan itu. Bukan seberapa banyak anggota parlemen yang menyepakatinya.

Sementara itu, sila kelima memberikan “tujuan praksis” dari demokrasi Pancasila. Yakni keadilan sosial. Mengapa? Karena muara dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, memanglah keadilan sosial. Pada titik inilah demokrasi Pancasila akhirnya disebut sebagai demokrasi sosial. Yakni sistem demokrasi yang tidak hanya memenuhi kekebasan negatif, melainkan pula kebebasan positif. Yang tidak hanya meruangkan praktik demokrasi an sich di ranah politik formal. Melainkan pula memperluas diri, hingga ke ranah perwujudan keadilan di masyarakat. Oleh karenanya, demokrasi sosial bukanlah demokrasi politik, yang menjadikan negara, partai, parlemen, dan segenap lembaga kenegaraan sebagai satu-satunya aktor politik. Demokrasi sosial adalah praktik demokrasi, yang menghaturkan segenap praktik kenegaraan, demi cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari segenap keprihatinan inilah demokrasi Pancasila akan terumuskan. Yakni dalam suatu krisis demokrasi, akibat keterjebakan prosedural dan peniadaan “tujuan sosial” di dalam dirinya. Dari Pancasila kita akan belajar mekanisme etis, yang membuat demokrasi tidak sekadar pertarungan suara, yang mendaulat mayoritas sebagai pemenang. Apalagi jika mayoritas itu adalah mayoritas politis atau fundamentalis. Mayoritas politis merujuk pada kekuatan partai-partai yang hanya bernafsukan kekuasaan. Mayoritas fundamentalis merujuk pada pemaksaan kaum Islamis atas kelompok minor keagamaan. Tentu mekanisme etis itu tak lain, permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan.

Dari Pancasila kita juga akan belajar tentang keadilan sosial sebagai tujuan utama demokrasi. Tidak sebatas “pembebasan kebebasan”, yang membuai rakyat menjadi aktor-aktor politik tak bervisi, tak berprinsip. Keadilan sosial sebagai tujuan demokrasi inilah yang membuat Hatta menyebut demokrasi kita sebagai demokrasi sosial. Yakni demokrasi yang menjadikan kesejahteraan sosial sebagai muara utamanya. Dengan menimba nilai-nilai Pancasila, kita akan mengembalikan konsep dan praktik demokrasi kita, ke pangkuan cita-cita kemanusiaan yang dijaga oleh konstitusi. Ya, pengembalian demokrasi kepada Pancasila, adalah pengembalian demokrasi kepada konstitusi. Kepada dasar kebajikan yang dibentuk, untuk mendasari praktik kenegaraan dan kebangsaan kita. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar