Ikhtiar & Jihad Memerdekakan Ekonomi Indonesia


Heri Kristanto
Wakil Sekretaris Jenderal Pengembangan Profesi Akademik PB PMII.


Telah mafhum, UUD 45 pasal 33 ayat 4 menjadi salah satu dasar kebijakan ekonomi Indonesia. Muatan pasal tersebut memberi ancangan tegas, meski bersifat umum, terhadap arah dan tujuan perekonomian kita, yaitu “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Makna yang terkandung didalamnya merupakan derivasi dari pemerataan pembangunan dan keberdayaan ekonomi dalam merumuskan resiliensi bangsa. Prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dalam ayat tersebut bersifat komplementer, artinya kesemuanya merupakan hal yang parsial namun implementasinya selalu beriringan dan saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Kesatuan implementasi dalam pasal tersebut merupakan sebuah rumusan kebijakan komprehensif yang dapat dijadikan  landasan roadmap pembangunan Indonesia.


Dalam makalah ini nantinya akan mengurai jabaran prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dengan pertimbangan situasi kekinian denyut nadi perekonomian Indonesia. Prinsip “kebersamaan” dan “efisiensi berkeadilan” dihadirkan melalui kembang kempis UMKM sebagai penyumbang terbesar dalam PDRB dan  penyerap tenaga kerja paling besar, persoalan high cost economy, kebijakan proteksi infant industry vis a vis ACFTA, serta angin segar produk mobil Esemka.
Prinsip “berwawasan lingkungan”, nantinya, diketengahkan melalui potret kerusakan alam diakibatkan oleh pertambangan, dan kerusakan alam karena industri sawit. Sedangkan sub-bab terkait prinsip “kemandirian dalam menjaga keseimbangan kemajuan” dan “kesatuan ekonomi nasional” menghadirkan pembahasan Interdependensi perekonomian dunia dalam hasanah globalisasi, liberalisasi sektor keuangan dengan ilustrasi krisis akibat kredit perumahan di Amerika yang berakibat runtuhnya wallstret, penguasaan aset-aset perbankan nasional oleh asing dan penjualan BUMN strategis, serta kajian tentang MP3EI yang pro pasar. Sub-bab terkait prinsip berkelanjutan akan mengulas tentang UUD 1945 pasal 33 yang menurut penulis merupakan syarat utama kemakmuran bangsa. Sebagai penutup makalah ini akan membahas upaya bagaimana kedaulatan ekonomi dimanifestasikan dalam sebuah konsep pelaksanaan pembangunan.

Uraian dalam makalah ini dibingkai dengan metodologi  penelitian deskriptif dimana peneliti berusaha menggambarkan kondisi perekonomian yang dilakukan pada objek secara jelas dan sistematis dengan melakukan eksplorasi, menggambarkan, dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh. Makalah ini berusaha menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap permasalahan yang berkembang hipotesis sebagai petunjuk arah atau guide.  

Kebersamaan dan Efisiensi Berkeadilan
Penambahan ayat 4 merupakan kompromi atas azaz kekeluargaan yang termaktub dalam ayat sebelumnya, menurut Mubyarto alasan penambahan ayat 4 merupakan perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan dan menggusur azaz kekeluargaan, hal tersebut dikarenakan azaz kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi (ekonomi), walaupun pada hakikatnya hal tersebut tidak benar .

Perkembangan strategi pembangunan sangat menggembirakan mengingat adanya kesadaran bahwa proses pembangunan itu sendiri sudah tidak bisa lagi dimobilisasi secara seragam di banyak tempat dan dalam rentang waktu yang sama. Justru konsep pembangunan ke depan harus menyediakan ruang yang memadai bagi terakomodasikannya nilai-nilai lokal, kultur setempat, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, keinginan untuk memformulasikan suatu konsep pembangunan tunggal yang bisa dilakukan secara serentak untuk seluruh masyarakat jelas telah kehilangan keabsahannya .
Belajar dari krisis ekonomi dimana banyak pekerja yang diberhentikan, dan kondisi perekonomian pada titik terendah dikarenakan banyak usaha besar pailit, negara tidak hancur karena ada sektor yang sanggup bertahan yaitu sektor Usaha Mikro Kecil Menengah. Sektor ini setiap tahun mengalami peningkatan, dimana UMKM di Indonesia jumlah unit pelaku ekonomi dalam skala ini lebih dari 52 juta unit dan terbukti memberikan kontribusi 56,53% terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) serta 97,04% atau sekitar 90 juta penyerapan tenaga kerja.

Secara empiris kondisi ini memperlihatkan distribusi pendapatan masyarakat Indonesia masih sangat dominan dalam sektor-sektor informal, dalam manifestasi kebersamaan dan efisiensi berkeadilan jelas sangat diperlukan adanya keberpihakan terhadap kondisi di atas. Kebijakan yang memudahkan KUMKM dalam menjalankan usahanya sangat diperlukan untuk stimulus pelaksanaan usaha. Permasalahan utama dalam sektor ini (i) Sumberdaya Manusia kurang memiliki berpendidikan formal dan keterampilan (ii) Akses Permodalan yang sangat minim dan menjadi kendala walaupun sudah banyak skema seperti KUR, PNPM berdampak pada pengembangan usaha (iii) Akses Pasar (iv) Kelembagaan yang lemah akibat kurangnya kesadaraan akan manfaat cluster sebagai usaha bersama (v) Teknologi masih kurang dimanfaatkan dalam proses produksi atau pemasaran.

Permasalahan KUMKM menjadikan mereka akan sangat rentan jika harus bersaing dengan produk asing tanpa proteksi. Teori proteksi infant industry  yang dikembangkan oleh Friedrich List seharusnya menjadi landasan pemerintah sebelum meliberalkan pasar domestik. Sebagaimana pengaruh kerjasama bilateral antara ASEAN dan Cina (ACFTA) yang memberikan shock terhadap produk dalam negeri. Menurut data KADIN industri pengolahan mengalami penurunan 27,9 % dimana gap antara harga tekstil Indonesia dengan Cina 15-20 %, kondisi yang memaksa produsen akan berpindah menjadi trader karena usaha yang dijalankan tidak mampu bersaing dengan produk Cina. High cost itu bukan hanya disumbang peran teknologi, namun kondisi suku bunga yang masih tinggi juga merupakan komponen utama dalam daya saing produk.  

Kondisi daur hidup KUMKM yang sedang mengalami declining sedikit diberikan kepercayaan diri sebagai produk lokal dengan kebangkitan mobil nasional ESEMKA yang diproduksi di Solo. Kehadiran mobil ini memberikan ruang besar terhadap produk Indonesia yang mulai mendapat tempat di masyarakat kita. Promosi yang masif dari Walikota Solo mengenai ESEMKA seharusnya diikuti kebijakan pemerintah pusat sebagai regulator, sinergisitas ini mutlak diperlukan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat.     
Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan kesempatan produk lokal dalam bersaing, Joko Widodo merupakan contoh bagaimana pemimpin selaku regulator memberikan perlindungan terhadap produk dalam negeri. Begitu juga dengan pelaku usaha diharapkan masif dalam mengkampanyekan produk Indonesia. Alim Markus merupakan contoh luar biasa dengan jargon “cintailah produk-produk Indonesia”. 

Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah pembangunan yang mengoptimalkan  manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya . Keserasian dapat dimaknai bagaimana mengoptimalkan sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa (kebutuhan manusia). Kekayaan alam merupakan sektor non-tradable yang memberikan sumbangan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 219,4 trilliun atau setara 11,4 % dari keseluruhan. Sebagai negara pertambangan dengan produksi timah terbesar kedua didunia, tembaga terbesar keempat, nikel terbesar kelima, emas terbesar ketujuh, dan batubara terbesar ke delapan di dunia  memberikan gambaran bahwa negara Indonesia sangat besar potensi sumber daya alamnya.

Sektor pertambangan memberikan sumbangan yang penting untuk perekonomian meskipun resiko lingkungan hidup sangat tinggi. Idealnya aktifitas pertambangan harus dilakukan dengan mengikuti kaedah yang menjaga kelestarian lingkungan hidup dan memperhatikan aspek sosial. Permasalahan pertambangan di bumi Papua sudah mulai tahun 1974, dimana suku Amuege yang berdiam di sekitar tambang menuntut freeport membayar ganti rugi kepada mereka terkait pembabatan hutan perburuan suku itu. Freeport menyanggupi tuntutan itu, yang dituangkan dalam january Agreement 1974 , dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut tidak sepenuhnya ditepati dan menimbulkan konflik antara warga setempat dengan freeport.

Kerusakan lingkungan yang disebabkan freeport menurut perhitungan greenomics Indonesia mencapai 67 trilliun meliputi kerusakan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing yang berakibat adanya perubahan bentang alam karena erosi maupun sedimentasi, sementara pemasukan pemerintah dari tambang tersebut dalam periode 1992-2005 sebesar 36 trilliun.

Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat ramah dengan korporasi besar, dan  multiplier effect yang dihasilkan sangat kecil. Keadaan ini mendorong pemerintah untuk segera melaksanakan renegoisasi kontak karya pertambangan. Respon yang sangat agresif ini sampai sekarang kepastiannya belum jelas, karena terbentur pada beberapa barrier seperti peraturan yang kurang tegas. Renegoisasi kontrak pertambangan perlu diprioritaskan dalam rangka menyelamatkan lingkungan yang rusak akibat pertambangan dan pemasukan negara dari sektor tambang.

Sektor lain yang memberikan kontribusi terhadap pemasukan negara selain pertambangan dan bersentuhan langsung dengan lingkungan adalah sektor pertanian. Sumbangan yang diberikan senilai 301,3 trilliun atau sekitar 15,7% dari PDB, sektor ini juga mampu menyerap 42,47 juta tenaga kerja. Sektor pertanian sendiri yang mempunyai nilai ekspor tertinggi non-migas adalah kelapa sawit. Kelapa sawit beserta turunan komoditasnya ternyata demikian signifikan dalam meningkatkan devisa negara. Pada tahun 2010 saja, besaran devisa sawit mencapai sekitar Rp 122,7 triliun. Komoditas ini mampu menghasilkan sedikitnya 2,5 ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) per hektar per tahun dengan biaya produksi 300 dollar AS. Minyak kedelai, pesaing utama CPO, hanya menghasilkan 1 ton minyak per hektar per tahun dengan biaya 500 dollar AS. Indonesia memproduksi 21,6 juta ton CPO dari lahan seluas 7,9 juta hektar dan mengekspor 15,5 juta ton di antaranya pada tahun 2010.

Permasalahan perkebunan sawit adalah vis a vis masalah lingkungan, kampanye anti-sawit yang berlangsung bahkan ada kemungkinan semakin kuat tekanan yang diberikan kepada pelaku industri sawit. Tema kampanye anti-sawit masih dikaitkan dengan isu perubahan iklim maupun kerusakan lingkungan secara umum. Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin sistematik yang tidak saja dilakukan oleh NGO saja melainkan oleh group consumer tertentu dan beberapa negara di Uni Eropa, lewat pemberlakukan standar baru dalam perdagangan sawit dan menerapkan aturan yang berbentuk non-tariff barrier.
Indonesia yang identik sebagai negara agriculture telah mengalami metamorfosa dalam ekonomi arus utama menjadi negara industri, namun implementasi yang berjalan kurang baik menyebabkan pergeseran tersebut bersifat malpraktek, sebelum insfrastruktur industri siap masyarakat sekarang sudah dihadapkan dengan keunggulan teknologi informasi (masyarakat sistem informasi). Kondisi global yang terus memaksa masyarakat untuk mengikutinya membuat negara ini gagap dalam mengimplementasikan leading indicator dalam setiap kebijakan ekonominya.

Kemandirian dalam Menjaga Keseimbangan Kemajuan dan Kesatuan Ekonomi Nasional
Keseimbangan kemajuan dalam perekonomian bisa diartikan bagaimana mewujudkan stabilitas pertumbuhan dalam capaiannya, pertumbuhan yang terlalu tinggi sangat beresiko inflasi karena dorongan permintaan (demand pull inflation) akibat kebutuhan yang meningkat. Inflasi ini bisa mendorong terjadinya anomali sampai hal terburuk adalah resesi ekonomi tanpa adanya pengendalian. Kesatuan ekonomi dapat dimanifestasikan adanya konektivitas antara sumber daya dan pengelola, sering terjadi inside lag dalam pengambilan policy perihal ekonomi, seperti contoh adalah kebijakan masalah pembatasan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat lama dan cenderung dihindarinya kenaikan harga, karena dari perspektif politik kalau menaikkan harga BBM membuat pemerintah tidak populis, begitu juga masalah kelapa sawit dan pertambangan akan selalu lama dalam pengambilan keputusan, karena permasalahan lahan yang masuk dalam kawasan hutan. Kemandirian sangat mutlak diperlukan untuk membuat kebijakan yang obyektif dan independen tanpa adanya pengaruh asing. Kemandirian yang dimaksud bukan kita anti asing atau mengisolasi perekonomian, namun bagaimana kontrol pemerintah dalam dunia usaha yang semakin tanpa batas mampu dipergunakan untuk menyeimbangkan perekonomian. Dalam hal kepemilikan asing, ada tiga (3) sektor strategis yang sampai saat ini dimiliki asing seperti sektor telekomunikasi, perbankan, dan pertambangan .

Pertambangan dimiliki asing mungkin bukan hal baru, seperti dicontohkan diatas masalah freeport terlihat jelas tingkat kerugian yang harus ditanggung negara. Belajar dari negara lain yang sangat dominan kepemilikannya di sektor pertambangan seharus menjadi guru yang baik untuk bangsa ini, tambang selain memiliki multiplier effect yang kecil dan memberikan resiko kerusakan yang besar. Kepemilikan asing juga dirasakan dalam sektor telekomunikasi yang sekarang sudah seperti kebutuhan primer bagi masyarakat. Sektor yang sangat diindikasikan membentuk pasar oligopoli  atau bahkan monopoli wajib dikontrol dalam kepemilikannya, karena arus informasi tidak hanya dibutuhkan sektor ekonomi namun juga terkait kerahasiaan negara.

Perbankan atau institusi keuangan merupakan agen of development terkait fungsi intermediasinya, institusi ini sudah memberikan contoh bagaimana dahsyatnya efek yang diberikan dan mampu menghancurkan perekonomian pada periode tahun 1998. Kepemilikan asing yang mencapai 50,6 % aset perbankan di Indonesia yang keseluruhan nilai assetnya mencapai Rp. 3065 trilliun, di Malaysia kepemilikan asing dibatasi hanya 30 %, sementara di Singapura maksimal kepemilikan 20%. Fungsi intermediasi perbankan yang berjalan lambat, serta respon kebijakan penurunan suku bunga kredit (outside lag) memberikan gambaran yang jelas bagaimana akses permodalan sangat sulit untuk diraih. Kelemahan ini juga disebabkan paradigma Bank Indonesia dengan kebijakan Inflation Targetting Framework yang melihat inflasi sebagai sasaran utama dan suku bunga sebagai anchor yang menyebabkan terjadinya assymetri information tentang fungsi perbankan. 

Institusi keuangan yang perlu diperhatikan selain perbankan adalah Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) atau pasar modal. Lembaga yang oleh Morris disebut “Shadow Banking System”  telah menyadarkan dunia akan efek buruknya. Peristiwa subprime mortgage di Amerika, Kebangkrutan Negara Yunani, runtuhnya perusahaan JP Morgan akibat boom-bust sektor finansial ini. Kesalahan prediksi yang diakibatkan kemampuan teori Efficient Market Hypotesis  dalam menjelaskan kejadian umpan balik positif pasar modal dalam merespon permintaan dan penawaran yang tidak stabil memberikan contagious effect perekonomian dunia. Umpan balik positif tersebut tidak berlangsung alamiah, namun sifat chaotic pada pasar keuangan disebabkan oleh penguatan otomatis pada dua elemen krisis  seperti sekuritas dan inflasi.
Kondisi LKBB yang sangat liberal seolah memunculkan plutocracy dengan menambah lebar jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin (proverty trap), biaya yang harus dikeluarkan pemerintah sangat besar jika ada boom-bust pada sektor ini, Amerika harus mengeluarkan sekitar 5000 trilliun, kredit mobil turun 40%, kredit mahasiswa turun 42%, sementara Indonesia harus melepas bail-out sebesar 6,7 trilliun yang sampai sekarang belum jelas penggunaannya.

Dalam mewujudkan kesatuan ekonomi, pemerintah telah mengeluarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi. Konsep ini merupakan percepatan pembangunan dari RPJPN  , namun hal tersebut menimbulkan perdebatan dalam membangun kerangka konsep karena akan terjadi overlap perencanaan antara RPJPN dengan MP3EI sehingga malah menimbulkan debottlenecking dalam pelaksanaan teknis pembangunan.

Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan perpaduan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan masa depan dengan lingkup utama adalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep ini sebagai koreksi dari model pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi (economic growth model) karena lebih berorientasi jangka panjang. Selain hak berdaulat (sovereign right) terhadap sumberdaya alam yang menimbulkan permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan menjadikan konsep ini sangat tepat jika diterapkan di emerging market seperti Indonesia, keterkaitan eksploitasi sumberdaya (bagian dari pembangunan) dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (stateresponsibility) harus dipertegas.

UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai landasan konstitusi diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, kemampuan ini ditunjang independensi dalam pelaksanaan kebijakan yang obyektif dan berpihak kepada rakyat. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan kunci perekonomian dengan menyumbang 30% aktivitas perekonomian Indonesia.

Selain sumberdaya alam perlu ditinjau ulang sektor strategis yang harus di buy back dalam rangka perlindungan kepentingan nasional. Kebijakan ini sangat diharapkan terjadi pada sektor perbankan dan BUMN yang terlanjur diprivatisasi akibat dari krisis ataupun tekanan asing dengan issue pelaksanaan privatisasi akan menjadikan BUMN lebih efisien, dalam pelaksanaan terlihat jelas bahwa privatisasi tidak memberikan efek terhadap kesejahteraan rakyat, sebagai bangsa yang besar fardhu-ain hukumnya untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat sebagai syarat utama dan juga tidak mudah percaya (credulous thinking) dengan model-model riset sembarangan (sloopy research).

Yellow-River Capitalism  adalah contoh nyata bangkitnya Tiongkok dalam perekonomiannya, gerakan yang diawali dari resistensi paket reformasi yang tidak mebawa hasil tersebut menolak model consumer debt-led growth dengan strategi mencapai stabilitas harga untuk rakyat dan perbaikan kesejahteraan sosial serta perlawanan terhadap spekulasi dan korupsi. Menurut Doanh  bagaimana strategi pertumbuhan harus selalu berkorelasi dengan pemerataan menggunakan koefisien Gini (Gini Ratio) dengan istilah lain adalah kuantitas pertumbuhan tidak boleh meringankan capaian kualitasnya yang akan memperpendek disparitas pendapatan.

Penutup
Merupakan tanggung jawab warga negara dalam pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya dalam berkontribusi dalam lingkup sosial maupun ekonomi, serta kebijakan yang konsisten dalam kepemilikan asing serta turunannya dalam nilai riil maupun nominal. Kebijakan dengan meminimumkan biaya ekonomi yang tinggi (high cost economy) sebagai akibat beban fiscal yang ditanggung. Pemanfaatan sumber daya lokal dengan proporsional sangat diperlukan untuk pembangunan, serta orientasi kebijakan yang mendukung tumbuhnya usaha dapat menurunkan pengangguran yang menjadi ‘penyakit akut” perekonomian. Penguasaan sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak mutlak dijalankan (SDA, BUMN strategis, Perbankan) agar tidak terjadi respon yang sangat lambat (inside lag) terhadap segala jenis kebijakan yang dijalankan pemerintah, syarat yang terakhir adalah penyeimbangan perdagangan maupun institusi keuangan untuk mencegah resiko spekulasi yang akan berakibat anomali perekonomian.

BAHAN BACAAN
  • Aburizal Bakrie. 2011. Kuliah Umum Kewirausahaan Institut Teknologi Bandung (ITB). Bandung
  • Benni Setiawan. 2005. Pembangunan Berwawasan Lingkungan Yayasan Nuasa Sejati. Bandung
  • Cooper, G. 2008. The Origin of Financial Critis : Central Bank, Credit Bubbles and the Efficient Market Fallacy. Hariman House Pub. UK.
  • Erani Yustika. 2002. “Pembangunan dan Krisis: Memetakan Perekonomian Indonesia” .PT Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta.
  • Eriyatno. 2011. Membangun Ekonomi Komparatif “Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa”. PT. Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia. Jakarta
  • Le Dang Doanh. 2010. Economy in 2009: Quantity could not Outweigh Quality. The Saigon Times, January. 21-23
  • Marwan Batubara. 2010. Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Laporan Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Jakarta
  • Morris, C.R. 2009. The Two Trillion Dollar Meltdown. Black Inc, Pub., Australia. 
  • Mubyarto. 2003. “Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila”. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel th II no 4 Juli.
  • -----------------. Oligopoli Di Perbankan Indonesia “A. Prasetyantoko : Tak mudah simpulkan perbankan lakukan oligopoli”. www.kontan.co.id tanggal 18 November 2011.
  • ----------------. Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Sekretariat Jenderal DPR-MPR RI. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar