Kedaulatan di Tengah Identitas yang “Retak”


Dalam konteks ke-Indonesia-an, sejatinhya kunci dari legitimasi kekuasaan atau pemegang kedaulatan adalah Prinsip Kedaulatan Tuhan yang ditegaskan dalam sila ke-1 Pancasila; Ketuhanan yang Maha Esa. Turunannya adalah kedaulatan Hukum yang tergambar dari Negara yang menjalankan konstitusi secara konsisten—yang muaranya adalah Kedaulatan Rakyat yang juga di sebutkan dalam Pancasila yaitu Sila ke-4; Permusyawaratan yang dipimpin oleh Hikmad dalam Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
   
Ada hal yang mesti kita refleksikan kembali, terlebih bangunan Kenegaraan Indonesia—karena bagaimanapun sangat terkait dengan akar peradaban Nusantara yang sebelum Proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 agustus 1945 terdiri dari kerajaan-kerajaan yang tumbuh dengan akar sejarahnya sendiri di masing-masing lokus. Dengan Bersatunya Raja-raja nusantara dan Menjadi Indonesia, memberikan gambaran bahwa Nusantara juga berkarakter peradaban morakhi yang terbaik, karena raja-raja monarkhial Nusantara berkeyakinan terhadap kedaulatan Tuhan demi Kepentingan Umum.



Dalam Negara Monarkhi nusantara begitu jelas terlihat betapa sukarnya dipisahkan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan hukum sebagai manifestasi dari kesadaran akan kesejahteraan rakyat. Meskipun Sriwijaya di kenal dekat dengan pedagang India tetapi secara konstitusi memiliki prasasti telaga batu (683), Meskipun Majapahit “pernah Memiliki Kedekatan dengan portugis (dimasa Girindrawardhana; (1468-1527) tetapi memiliki perundang-undangan Kutara Mawadharmasastra, Kesultanan Aceh yang begitu dekat dengan Persia juga memiliki Adat Meukuta Alam (Adat bersendi Syariat) atau Kesultanan Gowa-Tallo yang memiliki Amanna Gappa (Hukum Dagang Laut).

Secara Historis Konstitusi Kerajaan Nusantara menjadi bukti kedaulatannya dalam mengelola pemerintahannya sendiri dan pada Fase selanjutnya, ini diartukalisaikan oleh para founding father kita dengan gagasan yang baru.  Misalnya; Pada tahun 1932 Bung Karno menulis dalam fikiran Ra’jat tentang demokrasi yang berarti “pemerintahan rakyat” Demokrasi yang dimaksud adalah cara pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk memerintah. Demokrasi yang dicita-citakan adalah Demokrasi yang berdiri pada dua kaki yaitu politik dan ekonomi. Di tahun yang sama Bung Hatta dalam Brosur Kearah Indonesia Merdeka menyatakan bahwa kita harus membangun demokrasi kita sendiri, demokrasi yang berasal dari desa—dasar-dasar demokrasi yang terdapat dalam pergaulan hidup asli di Indonesia kita pakai sebagai sendi politik kita.

Beberapa gambaran sejarah diatas menjadi ruang untuk kita semua untuk membincang ulang soal kedaulatan dalam beragam prespektif karena realitas hari ini menunjukan situasi yang berbeda dari cita-cita pendiri bangsa. Arus Globalisasi yang begitu deras dan tak terelakan, menjadi fenomena yang begitu kompleks karena kedaulatan berhubungan dengan semua hal sehingga dalam Jurnal Pena Pergerakan ini memberikan beragam prespektif mengenai kedaulatan terlebih dalam konteks sejarah Nusantara sampai pada realitas hari ini.

Dengan memberikan gambaran realitas masa lalu, hari ini dan mengimajinasi masa depan, paling tidak kita telah membuat jembatan untuk mencapai mimpi. Bukan mimpi dalam keadaan tidur—melainkan mimpi dalam keadaan sadar. Semoga Jurnal ini dapat memberikan pengetahuan dan prespektif baru tentang masa depan Indonesia.
   
Selain itu Segmen dialektika PMII akan memberikan rargumentasi tentang pilihan gerakan intelektual dan orientasi akademik kader,  sebagai salah satu intrumen gerakan PMII yang juga tidak bisa tdilepaskan menemani nalar krits dan tradisi protes. Yang menjadi bentuk delegitimasi jalanan untuk mengawal perubahan.
   
Ditambah beberapa artikel lepas lepas yang mengupas soal Islam Indonessia dan beberapa prespektif mengenai kedaulatan, serta Review buku yang kami harapkan dapat memperkaya pengetahuan untuk meretas format masa depan.

Selamat Membaca!

Jaelani SF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar