Ketika Negara & Rakyat “Tak Lagi” Berdaulat
(Merefleksi Sejarah, Memproduksi Makna untuk Spirit Generasi)

Kedaulatan jika ditelisik lebih dalam, adalah sebuah konsepsi yang abstrak, tetapi menjadi faktor yang sangat penting dalam tata kelola sebuah sistem bernegara. Kedaulatan telah menjadi paradox; disatu sisi kita sebagai sebuah Negara bangsa (nation-state) tak mungkin menjadi benar-benar berdaulat, tetapi pada sisi yang lain ada kerinduan untuk benjadi benar-benar berdaulat.

Konsep Tentang kedaulatan modern dijelaskan oleh Jean Bodin (1530-1596),1 kedaulatan menurut bodin dipahami sebagai kekuasaan tertinggi, abadi dan tak terpisahkan. Ditandai dengan kemampuan membuat suatu hukum tanpa persetujuan, dari pihak lainnya, artinya menentukan sesuatu. Kedaulatan bias dimiliki oleh penguasa tunggal, kelompok tertentu atau semua elemen warga. Bisa dalam bentuk pemerintahan, persemakmuran, bias juga sebagai monarki, aristokrasi, atau Negara bangsa. Tanpa itu, status kumpulan manusia saja bukanlah Negara dan sama sekali bukan kedaulatan, bias didudukan sebagai crowd  sebentuk pemerintahan tanpa pemerintahan dan  kekuasaan.


Bodin telah mengabstraksikan Imajinasi panjang tentang masa depan sebuah Negara—tetapi realitas yang kemudian muncul adalah Kedaultan hanya berada dalam kerangka teritis, belum menjadi hal yang bersifafat praksis. Sama halnya jika pendekatan teori ini didekatkan dengan realitas Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, Kedaulatan minimal memenuhi beberapa syarat—sesuai dengan syarat terbentuknya sebuah Negara yaitu; Rakyat, wilayah, kedaulatan dan pengakuan Internasional. Negeri ini mengalami problem tersendiri karena memiliki kompleksitas--dengan permasalahan Negara-negara pinggiran yang khas—secara sosio-kultural juga religius, memiliki warisan kultural, tempat dimana terjadi pertemuan peradaban besar dunia. Pada titik inilah kedaulatan menjadi pertaruhan.

Pada sisi yang lebih mikroskopik, kedaulatan menjadi ironi karena demi pencapaian kedaulatan, Negara rela “manyakiti” negaranya sendiri (yang didalamnya ada rakyat dan wilayah) atau Negara lain untuk unruk meneguhkan eksistensi “rezim kebenaran”. Pada sisi ini penting rasanya kita melihat kembali kedaulatan yang dibangun oleh Raja-raja di fase nusantara awal untuk menjadi jembatan menuju peradaban dimasa depan.

Secara historis dapat dikategorikan bahwa pada fase nusantara awal kita telah melahirkan peradaban yang memiliki kearifan serta kemajuan yang begitu luar biasa. Tradisi kemasyarakatan terorganisir di nusantara yang berbentuk kenegaraan sendiri telah menunjukan pencapaian yang yang tidak kalah dengan dengan tradisi belahan dunia yang lain. Paling tidak ada beberapa hal penting yang mesti kita lihat; pertama; Istilah “Negara” berasal usul bahasa Sansekerta “nagari” (seperti digunakan di Sumatera Barat) atau “nagara” (seperti digunakan di Bali) yang berarti “kota”. Akar pemahaman ini seirama dengan istilah “kota” (city state) atau “polis” di zaman Yunani kuno. Secara sederhana, “Negara” dapat diberi pengertian sebagai kekuasaan terorganisir yang mengatur masyarakat hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu demi kesejahteraan bersama.

Kedua; Trias Politika Trayaratna (Majapahit, 1365) lebih tua dari Trias Politika John Locke (1690) dan Montesquieu (1748).

Ketiga; Seloka Bhinneka Tunggal Ika (Majapahit, abad-14) lebih tua dari seloka serupa, E Pluribus Unum (Amerika Serikat, abad-18),

Keempat; Konstitusi Telaga Batu (Sriwijaya, 638), Kitab Kutaramanawadharmasastra (Majapahit, 1365), UU Qanun Meukuta Alam Al Asyi (Aceh Raya Darussalam, 1607 – 1636), UU Surya Alam (Mataram, 1613 – 1646), UUD Paji Sekaten & UU Beraja Nanti (Kutai Kertanegara, 1605 – 1945), UU Sembur Cahya & Sindang Mardika (Palembang, 1630 – 1825) lebih tua daripada Konstitusi Amerika Serikat (1788) dan Grond Wet (The Netherland, 1848),
   
Kelima; Kompilasi Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (Gowa-Tallo, 1626) sebaya saja dengan praktek VOC (yang ber-Anggaran Dasar, 1602),

Keenam; Naskah Siksa Kanda Karesian (Pajajaran, 1518) yang a.l. memuat ragam siasat tempur, lebih tua daripada rekayasa tempur yang dipraktekkan rezim kolonial baik Portugis maupun Spanyol dan VOC di persada Nusantara.2

Keunikan kerajaan nusantara ini seolah menyiratkan bahwa Kedaulatan telah dijunjung tinggi dimasa lalu--dengan pemahaman bahwa kunci tertinggi adalah kedaulatan Tuhan untuk kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang diinspirasi oleh para faunding fathers dalam “Meracik akar peradaban” yang menjadi bangunan kenegaraan Indonesia. 3

Setelah Fase Nusantara awal dan fase pergerakan, negeri ini melawati fase perjuangan—sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah. Melihat perjalanan sejarah perjuangan juga adalah hal penting untuk melihat samapai sejauh mana sebuah Negeri yang bernama Indonesia, -berdaulat.


Indonesia dalam Lintasan Sejarah Perjuangan

Sejak 1945 sebagai fase klimaks dari imaji dan hasrat dari kaum muda yang menginginkan kemerdekaan, telah menjelma menjadi kenyataan dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta_patriotik bukan saja lahir dari pesisir Madura, kawasan pantai timur Indonesia, sumatera, dll_tetapi bangkit dari ujung timur hingga barat negeri ini. Makam pahlawan menjadi saksi betapa perjuangan begitu panjang untuk mereguk kadaulatan Bangsa Indonesia_meskipun Pasca 1945 Belanda belum menganggap kemerdekaan Indonesia dan perjuangan-pun tidak berhenti pada titik itu.

Ada beberapa catatan penting pada periode 1945 sebagai bagian dari pergulatan panjang pergerakan kemerdekaan Indonesia yang menjadi akar kesejarahan bangsa ini,4 Pertama; Pada tanggal 1 juni 1945 dasar Negara yang dirumuskan oleh Ir. Soekarno, diajukan di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagai anggota BPUPKI Soekarno memberikan penjelasan akan Dasar Negara Pancasila diambil dari akar-akar keIndonesiaan. Kedua; Sebagai melanjutan dari sidang BPUPKI kemudian menghasilkan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang didalamnya ada pembukaan Undang-Undang Dasar dan butir-butir Pancasila_meskipun dalam batang tubuhnya telah dilakukan amandemen sejak tahun 2002-2004. Ketiga; Landasan perjuangan berbangsa dan bernegara telah di hasilkan oleh para pejuang dan pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia. Karena kemerdekaan Indonesia yang telah diraih bukan akhir dari perjuangan “angkatan 45”, peristiwa sejarah yang ditorehkan “angkatan 45” belum selesai, karena Penolakan kemerdekaan oleh Hindia Belanda pada saat itu masih kuat, ini dilatarbelakangi oleh egoisme atau perasaan kepemilikan akan negeri ini. Sejak ekspansi Belanda VOC di awal abad 17 yang telah melakukan penguasaan berangsur-angsur di wilayah Indonesia_sehingga pada era 1945-1949 terjadi situasi krisis dengan terjadinya periode perang yang berujung pada kemenangan bangsa Indonesia melalui Konferensi Meja bundar yang dikenal dengan (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949. Pada konferensi tersebut memuat dua hal sebagai perdebatan yaitu Pembentukan Negara Federal_Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kedua yaitu penundaan wilayah Irian Barat untuk menjadi bagian geografis bangsa Indonesia.

Setelah Perjanjian KMB yang memuat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, maka sejak tahun 1950 sampai sekarang Indonesia menjadi bangsa transisional dengan segala macam persoalannya. misalnya; Persoalan keamanan, menciptakan kehidupan bersama yang demokratis dan masalah pembangunan ekonomi untuk rakyat. Angkatan 45 sebagai pancaran dari generasi sebelumnya (generasi penggagas kebangkitan nasional), mengalami ujian berat dengan persoalan keamanan didalam negeri; dimulai dari pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 oleh Muso, Pemberontakaan DI/TII yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo5  yang mendapat dukungan dari beberapa daerah seperti; Sulawesi Selatan-Tenggara dibawah Pimpinan Kahar Mudzakkar, Kalimantan Selatan dibawah pimpinan Ibnu Hajar, dan di Aceh di bawah Pimpinan Teuku Muhammad Daud Beureuh.

Pemberontakan yang terjadi di tahun 1952-1953 tersebut telah membuat keguncangan dalam negeri, ditambah pada tahun 1958 muncul pemberontakan Pemerintahan Revolisioner Republik Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan Syarifudin Prawiranegara dan M. Natsir yang juga mendapat dukungan dari beberapa wilayah misalnya; Letkol Ahmad Husain dan Kolonel Simbolon di Sumatera, Letkol Vence Samuel, Kolonel Kawilarang dan Mayor Saleh Lahade di Sulawesi yang memproklamirkan Perlawanan Rakyat Semesta.6

Dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang berisi kembali ke UUD 1945, kemudian menjadikan semangat kuat bagi bangsa Indonesia untuk menyelesaikan situasi keamanan dalam negeri, Panglima Kodam Hasanudin; Kolonel Muhammad Yusuf sejak itu melakukan penguncian terhadap gerakan DI/TII di Sulawesi dan Pada periode 1962-1965 praktis kekuatan pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta dapat dilumpuhkan dengan tertangkapnya Kartosuwiryo di tahun 1962, termasuk Syarifudin Prawiranegara dan M. Natsir, Letkol Ahmad Husain, Kolonel Simbolon, Letkol Vence Samuel, Kolonel Kawilarang dan Mayor Saleh Lahade_disusul dengan tertembaknya Qahar Mudzakkar melalui operasi militer siliwangi tanggal 2 April 1965 di Sulawesi Selatan-Tenggara.

Situasi genting kembali terjadi pada Tahun 1965, terjadi Pemberontakan PKI yang dinamai G/30/S yang dikomanadani oleh Letkol Untung. Pemberontakan yang terjadi tanggal 30 September 1965 tersebut menebar konflik disekeliling “Pemimpin Besar Revolusi” yang di digulingkan Oleh Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung pada tanggal 1 Oktober 1965. Selama transisi kekuasaan tahun 1965-1967 tersebut Presiden Soekarno digantikan oleh Pj Presiden Jenderal Soeharto yang terjadi melalui sidang istimewa MPRS tahun 1967_yang selanjutnyapada tahun 1968 Jenderal Soeharto defenitif menjadi Presiden Indonesia.

Pada masa transisi kekuasaan inilah kemudian lahir “Angkatan 66”, yang menjadi kekuatan ekstra parlementer dalam tumbangnya Rezim Orde Lama Pimpinan Soekarno. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga mengubah sistem demokrasi Indonesia dari demokrasi parlementer-liberal menjadi demokrasi terpimpin yang dibentuk oleh Soekarno, situasi inilah yang
kemudian mengukuhkan Soekarno sebagai Presiden Seumur hidup. Kekuatan ekstra parlemen mulai menjadi kekuatan rakyat dan mahasiswa yang kritis dengan lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang melakukan demonstrasi pada tanggal 10 Februari 1966 dengan mengusung Tritura (Tiga tuntutan Rakyat); Bubarkan PKI, Bubarkan kabinet Dwikora dan Turunkan Harga_momentum inilah yang menjadi awala membangkitkan kekuatan Orde Baru dan berkuasa di tahun 1967 di bawah pimpinan Soeharto.

Sejak Orde Baru terbentuk, maka demokrasi Pancasila dijalankan dan melakukan pembangunan ekonomi dengan konsep Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menjadikan Dwifungsi ABRI (TNI/POLRI) sebagai penguat kekuasaan Orde Baru. Pada masa awal pemerintahan berjalan dengan menitik beratkan pada pembangunan ekonomi_tetapi kemudian demokrasi Pancasila menjadi alat yang menjadikan kekuasaan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto menjadi Otoriter.

Sejak tahun 1967, pemerintahan militer di Indonesia dibawah pimpinan Soeharto menjadi pelaksana Teori pertumbuhan Rostow dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditentukan secara berkala untuk waktu Lima tahunan, yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dengan demikian selama pemerintahan Orde Baru Indonesia menerapkan pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada idiologi dan teori modernisasai dan adaptasi serta implementasi pada teori pembangunan tersebut. (Mansour Faqih; Runtuhnya Teori Pembangunan dan globalisasi, 2004).

Dalam konteks ekonomi pemerintahan Jenderal Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun dengan cita-cita kesejahteraan hanya berakhir menjadi cerita, karena dalam dekade yang sangat lama penguasaan ekonomi justru muncul pada pusaran kekuasaan, dalam konteks demokratisasi; rakyat Indonesia dibungkam dengan kekuatan militerisme, kaum intelektual, pemuda dan mahasiswa di kungkung dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sehingga keamanan dalam negeri “tercipta dengan militerisme”.Tetapi dimasa Orde baru sel-sel perlawanan terjadi perlahan-lahan, mulai dari sudut kota, kampus-kampus, sampai pada basis rakyat memvirusi keinginan kuat rakyat juga elit untuk dapat menghirup udara demokrasi yang telah lama di idamkan. Tercatat di tahun 1974 terjadi gerakan Rakyat yang dinamai
Malapetaka Lima Januari (Malari)_sebagai bentuk perlawanan terhadap masuknya secara besar-besaran modal dan produk Jepang di Indonesia. Situasi ini terus berlangsung di kampus-kampus pada tahun 80-an sampai pada Klimaks gerakan Mahasiswa dan Rakyat berlangsung pada tahun 1998.

Angin Segar Demokrasi

21 Mei 1998 tepatnya Rezim Militerisme pimpinan Jenderal Soeharto terpaksa harus mundur akibat desakan mahasiswa dan Rakyat yang mencapai puncaknya. Gerakan yang dinamai Reformasi 1998 melahirkan generasi baru “Angkatan 98” yang pada penggulingan Orde Baru mengusung enam Undang-Undang Paket Reformasi; Turunkan Soeharto, Cabut Dwifungsi ABRI, Penegakan Supremasi Hukum, Supremasi Sipil, Penuntasan HAM dan Amandemen Undang-Undang Dasar.

Setelah peristiwa “Heroik yang bernama Reformasi, Bangsa Indonesia telah menghirup angin segar demokrasi dengan pergantian kepemimpinan Baru; BJ. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak 1998-2012 negeri ini terus saja berkutat dengan persoalan yang sejak nusantara awal telah berlangsung yaitu persoalan kesejahteraan rakyat.

Ulasan diatas diatas bukan mengajarkan kembali situasi masa lalu yang relatif sudah dipahami oleh semua” orang, tetapi kesadaran sejarah telah menjadi penanda bahwa, Bangsa Indonesia beserta para tokohnya telah melewati situasi yang “berat” dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan internal (kesejahteraan dan keamanan dalam negeri) serta ancaman dari luar (agresi militer), menjadi simbol keberanian para tokoh di zaman itu, untuk mengambil keputusan demi keamanan dan kesejahteraan_dengan mempertaruhkan kekuasaan mereka”.

Kesegaran angin demokrasi dimaknai ganda, karena disatu sisi dengan terbukanya kran demokrasi, menjadi spirit baru bagi semua elemen masyarakat untuk beraspirasi dan kritis terhadap sebuah sistem kenegaraan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Namun disi lain Ada “Kebablasan”; demokrasi yang menjurus pada pengrusakan sistem negara yang semakin lemah karena mesti berhadap-hadapan dengan pergeseran di level Internasional.

Realitas Demokrasi yang beriringan dengan perkembangan industri informasi, melahirkan
“Demokrasi Kuantum7 dimana tayangan media massa sangat mempengaruhi citra masyarakat terhadap realitas kehidupan. Tayangan yang dicitrakan media telah membangun persepsi yang berbeda dalam masyarakat Indonesia. Pada level elit politik media menjadi instrumen penting terhadap pencitraan elit, sementara keterbelakangan hanya di ekspose di media dalam kerangka yang tidak utuh--dengan pola ini citra baik pemerintah lebih melekat kuat di benak masyarakat, ketimbang ketimpangan sosial dan inilah yang membuat nalar kritis masyarakat menjadi bekurang.

Keruwetan masalah bangsa semakin bertambah dengan pecahnya bebrapa konflik masyarakat dengan aparat yang merupakan imbas dari dominasi modal terhadap masyarakat. Kalau kita melakukan Identifikasi, Penembakan di Aceh, Konflik Agraria di Mesuji-Lampung, Bima-NTB adalah contoh yang paling dekat.

Kasus-kasus ini semakin menegaskan kompleksitas masalah bangsa. Menurut Micchael Mann8 ada dua hal yang mendorong situasi konflik yang berorientasi pada tumbangnya rezim; pertama; Isu Agraria. Akhir-akhir ini wacana agraria mencuat dan merupakan buah dari buruk kebijakan negara, karena negara terkunci dibawah bayang-bayang kapital kedua; Radikalisasi konflik Alat Negara--Situasi negara yang saling sandera membuat situasi lebih kontradiktif.

Ditambah lagi dengan penghilangan makna Rakyat secara utuh—Rakyat hanya diposisikan sebagai subordinat Negara sekaligus di stigmakan bahwa rakyat hanya berharga ketika proses Pemilihan Umum berlangsung. Padahal sejatinya rakyat berdaulat layaknya konsep demokrasi sesunggunya seperti diungkapkan oleh penggagasnya Montesque dan JJ.Rosseau.9

Pemebelajaran dan kebebasan Demokrasi Indonesia yang berlangsung 12 tahun (Reformasi), ternyata tidak menjadi habitus elit”—justru melahirkan pertanyaan apakah benar bangsa Indonesia telah berdaulat?
Ataukah  akan terus berjuang ditengah situasi Internalnya yang masih belum selesai; (Kemiskinan dibidang ekonomi, Krisis Identitas diruang budaya, Korupsi di ranah hukum, ancaman disintegrasi dan kedaulatan dalam konteks keamanan), serta situasi eksternal; Hegemoni Globalisasi dan ekspansi Pasar Bebas. Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation-state) mesti mengelola kesadaran sejarah untuk menata kehidupan kebangsaan yang lebih baik dengan pemahaman pengetahuan yang kuat, basis idiologi yang jelas dan artikulasi yang berorientasi universalitas.

Sejarah; Produksi Makna- Kedaulatan; Merdeka-berdaulat-adil dan makmur


Satu hal yang tentunya tidak inginkan yaitu membiarkan naskah sejarah hanya menjadi artefak bisu atau menjalani realitas tanpa makna. Karena substansi dari kedaulatan itu sendiri adalah kesejahteraan. Sehingga dari konsep akan menjelma menjadi hal yang lebih praksis yaitu Menginisisi semua hal dengan basis kedaulatan. Artinya—kedaulatan telah menjadi kesadaran bersama yang juga diyakini secara bersama untuk di tegakkan. Paling Tidak ada bebrapa hal yang mesti dilakukan dalam meneguhkan kedaulatan Indonesia:

Pertama; Kedaulatan akan terwujud apabila tergambar dalam pelaksanaan Konstitusi. Artinya Produk hukum sejak Undang-Undang Dasar 1945 menjadi teks rujukan konstitusi harus konsisten dijalankan oleh semua elemen, Elit sampai elemen Rakyat. Hal ini juga seiring dengan pendapat gusdur dalam tulisannya; masa depan demokrasi Indonesia11 yang menegaskan konsistensi akan aturan termasuk pengaturan lembaga pemerintaahan yang berorientasi pada pembagian tanggung jawab untuk kolektifitas kebangsaan.

Kedua; Meneguhkan kembali kearifan lokal Indonesia yaitu Musyawarah dan Mufakat. Ini adalah manifestasi dari keinginan bersama utuk memcahkan problematika bangsa secara bersama-sama- Poin ini-pun telah ada di Sila ke 4 Pancasila. Pada sisi kearifan lokal, Indonesia di kenal dengan kesantunan budaya timur—ini akan menjadi bermakna kalau dimanifestasikan dalam tata kelola kehidupan berbangsa. Politiknya adalah politik hatinurani12 sehinggaKedaulatan akan menjadi kemerdekaan yang sungguh-sungguh.

Ketiga; Pada sisi civil sociaty, massa petani harus terus digerakkan, dengan catatn—aksi-aksi yang dilakukan berkelanjutan--meskipun buruh, kaum miskin kota belum bermunculan. Pada titik inilah mahasiswa memiliki cara baca terhadap relasi negara dengan konglomerasi sehingga gerakan mahasiswa tidak sekedar perayaan sekaligus pertunjukan. 13

Ketiga hal ini mesti menjadi “laku”, dan Semoga kedaulatan tidak hanya menjadi kedaulatan itu sendiri melainkan makna filosofis yang mesti diyakini sebagai ikhtiyar kesejahteraan rakyat. Karena kedaulatan Indonesia telah dimaklumatkan secara tegas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: Merdeka, Berdaulat, adil dan Makmur. Maka mengurai makna sejarah menjadi hal yang sangat penting.untuk menjadi spirit menata Masa Depan

REFERENSI

  • As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemashalatan Berbangsa, 2010
  • AS. Hikam, Menjawab Perubahan Zaman, Kompas 1999
  • Frans M Parera, Mengenang Romomangun; Surat Bagimu Negeri, Kompas 1999.
  • Hermawan Sulistiyo, Kemana Indonesiaku?, 2002
  • Muhammad Tohadi, Oase Kebangsaan, Kajian Wacana Indonesia, 2000
  • Prof DR Jimly Asshiddiqie, SH, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 
  • Sri Rosalinda, Pembangunan  Masyarakat Nusantara,  Kerajaan Dan NKRI Dalam Revolusi Pancasila, 1 Juli 2010
  • Prof Dr I Gde Pantja Astawa, SH, MH dan Dr Suprin Na’a, SH, MH, Memahami Ilmu Negara & Teori Negara
  • Siti Zuhro, Peran Aktor Dalam Demokrasi, Ombak 2009
  • Ricard Bagun, Bung Hatta, Kompas, Jakarta, 2003
  • Repository.upi.edu/operator/upload/s_sej_034391_bab_ii.pdf
  • http//wierfy.blogspot.com/2009/04/tentang-kedaulatan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar