Massifitas Peran Gender dalam Meneguhkan Kedaulatan Rakyat



Khalilah, M.Pd
 Alumni PB KOPRI 

Para pendiri negeri ini, sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945 menghargai peranan perempuan pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang, dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (baik laki-laki maupun perempuan).

Di dalam GBHN 1993 di antaranya juga diamanatkan, bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan perempuan dalam pembangunan. Selain itu, pengambil keputusan juga telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam UU No.7 Tahun 1984. Apa lagi dengan dikeluarkannya Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang secara nyata telah berhasil meningkatkan kesejahteraan perempuan. Dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) yang dikemukakan dalam keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap perempuan dalam berbagai bidang.



Upaya untuk kesetaraan gender di Indonesia terus masif terjadi dalam berbagai bidang, misalnya kuota 30% dibidang politik untuk perempuan adalah salah satu upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip persamaan hak bagi perempuan. Hal ini perlu untuk terus diperjuangkan karena jika mengacu pada teori yang dipelopori oleh J.J Rousseau, Montesquieau dan John Locke tentang kedaulatan rakyat menyatakan bahwa pemerintahan memperoleh kekuasaan tertinggi dari rakyat. Jadi rakyatlah yang sebenarnya memiliki kedaulatan, kemudian rakyat memilih orang-orang yang diserahi mengatur pemerintahan untuk kepentingan rakyat. Teori ini jelas tanpa diskriminatif terhadap gender sebab kata “rakyat” adalah untuk laki-laki dan perempuan.

Kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (genderequality and equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan secara biologis dimana perempuan memiliki kodrat untuk mengandung, melahirkan dan menyusui yang tak tergantikan dengan laki-laki mutlak dilakukan. Pembatasan kepada perempuan untuk mengembangkan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang ada, untuk saat ini sangat tidak efektif dalam pembangunan Negara.

Peranan perempuan dalam membangun Negara adalah kewajiban sebagai warga negara. Hak dan kewajiban yang dijalankan oleh perempuan pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan, baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Peranan perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan perempuan dalam pembangunan sesuai dengan konsep gender atau peran gender.

Dalam bicara tentang peran gender kita mengenal ada tiga jenis peran gender. Pertama, peran produktif dalam peran ini adalah yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik. Kedua, peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain.

Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik. Ketiga, peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003). Ketiga peran tersebut dapat diperankan oleh perempuan dan laki-laki untuk itu pemberian ruang kesempatan yang sama dalam menjalani sebuah peran adalah hal yang lebih efektif dari pada membatasinya.

Mengupayakan peranan perempuan dalam pembangunan yang berwawasan atau berperspektif gender, dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dengan perempuan di dalam pembangunan. Karena, dalam proses pembangunan kenyataannya perempuan sebagai sumber daya manusia masih mendapat perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika perempuan bergerak di sektor publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada pula ketimpangan gender yang dialami oleh pria.

Untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dengan perempuan tersebut, perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu, saling peduli dan saling pengertian antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian, tidak ada pihak-pihak (laki-laki atau perempuan) yang merasa dirugikan dan pembangunan akan menjadi lebih sukses.

Usaha-usaha yang massif untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya sudah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih mengalami hambatan. Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum perempuan.

Oleh karena itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi yang tepat yang dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat kota, masyarakat desa dan sebagainya. Strategi itu dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender, berasal dari bahasa Inggris gender mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Dengan pengarusutamaan gender itu, pemerintah dapat bekerja secara lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan strategi itu juga, program pembangunan yang akan dilaksanakan akan menjadi lebih sensitif atau responsif gender. Hal ini pada gilirannya akan mampu menegakkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.

Sehingga Negara dapat mengoptimalkan seluruh sumber daya manusia, baik itu laki-laki atau pun perempuan. Semua bahu membahu untuk hidup mandiri, yang pada gilirannya akan meringankan kewajiban Negara. Upaya-upaya yang telah dilakukan memang tidak semuanya berjalan lancar. Kata-kata gender merupakan salah satu produk kebudayaan Barat sehingga tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang memandang gender identik dengan westernisasi.

Kita sebagai generasi muda haruslah membaca setiap gagasan dan pemikiran secara kritis, agar dapat dipetik segi-segi positif dan konstruktif, serta membuang segi-segi negative dan destruktif. Kita sebagai umat Islam harus memegang teguh hakikat ajaran Islam seperti tertulis dalam Al-Quran dan Al-Hadis yang bertumpu pada prinsip Islam yang universal, yaitu prinsip keadilan, kesamaan, kemaslahatan, dan kemanusiaan.

Substansi dari gerakan gender adalah memperjuangkan tatanan masyarakat yang adil, bebas dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Dengan demikian nabi Muhammad di utus dengan misi kemerdekaan. Bebas dari belenggu thagut (tirani) dan khurafat (takhayul) dengan memperkenalkan konsep tauhid (monoteisme murni). Nabi mengajarkan tugas utama manusia: perempuan dan laki-laki adalah sama yaitu menjadi khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di dunia). Laki dan perempuan harus berlomba-lomba berbuat amal terbaik (fastabiqul khairat).

Perbedaan suku, warna kulit, bahasa, gender, jenis kelamin, orientasi seksual adalah suatu keniscayaan hal itu bertujuan untuk saling kenal mengenal dan memahami satu dengan yang lain (mutual understanding) sehingga terwujud masyarakat yang damai dan harmonis. Ditilik dari misi Nabi yang sangat kuat membawa pesan-pesan pembebasan, khususnya bagi perempuan, maka tidak salah menyebut nabi sebagai pionir gerakan gender (feminis). Nabi adalah feminis pertama dalam Islam.

Dari ulasan di atas, jelas bahwa masifitas peran gender berdampak dalam segala bidang, yang pada akhirnya dalam upaya meneguhkan kedaulatan rakyat, semua warga Negara memperoleh hak dan kewajiban yang sama untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar