Pemilihan Umum dan Perempuan di Parlemen


 
Siti Nur Zubaidah Rupelu
Alumni PB KOPRI


Pada tahun 2014 yang akan datang, Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilihan umum. Sejak pemilu pertama tahun 1955, tahun 2014 merupakan pemilu ke-11 dalam sejarah RI.

Sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagai perwujudan ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ dalam sistem politik nasional, dilaksanakan pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya.

Pemilihan umum setiap lima tahun sekali berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Prinsip utama pemilu adalah keterwakilan, yakni setiap warganegara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkat pemerintahan.

Pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan melalui seleksi oleh parpol peserta pemilu yang disusun daftar bakal calon.



Dalam dua undang-undang pemilu, yakni UU No. 12/2003 dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sudah diatur daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Dalam UU No. 10/2008, diatur lebih jauh penyusunan nomor urut, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. KPU juga harus melakukan kelengkapan dan kebenaran terhadap terpenuhinya 30 persen keterwakilan perempuan tersebut.

Walaupun terdapat pasal-pasal ‘affirmative’ itu, namun oleh karena adanya inkonsistensi dalam kebijakan partai politik,ketidaktegasan pengawasan kuota perempuan oleh penyelenggara mau pun pengawas pemilu, serta keterbatasan sumber rekrutmen ,maka keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia masih rendah. Dalam DPR hasil pemilu 1999 hanya ada 9 persen dari 500 anggota DPR, pemilu 2004 menghasilkan keterwakilan perempuan sebanyak 11,3 persen dari 550 anggota DPR, dan di DPR hasil pemilu tahun 2009 terdapat 18 persen perempuan wakil rakyat dari 560 anggota DPR.

Sebagai contoh, menurut data KPU, berdasarkan hasil pemilu 2009, terdapat 3894 orang perempuan calon anggota, namun hanya 99 orang yang terpilih, artinya hanya 2,54 persen.Kenyataan politik ini juga tidak lepas sistem pemilu proporsional terbuka dengansuara terbanyak ,yang tentu secara kuat dapat meminggirkan perempuan dari proses kompetisi dan menjadi kendala tersendiri bagi perempuan untuk menjadi calo nanggota legislatif terpilih .

Laporan Deutsche Welle(9//3-2011) memaparkan kecenderungan di Eropa yang berbeda dengan realitas politik di Indonesia tersebut di atas.Di Parlemen Eropa nampak nyata kesetaraan gender,dengan fakta 35,2 persen anggota perempuan,walau pun masih ada 2 dari 27 negara Uni Eropa masih di bawah standar rata-rata dalam hal prosentase keterwakilan perempuan. .Laporan lain (Seputar Indonesia,16 Januari 20111) melengkapi dengan fakta menarik. Sejumlah kelompok politik  mempromosikan keseimbangan gender bagi wakil-wakil mereka di parlemen Eropa. Kelompok Hijau atau Aliansi Bebas mempromosikan keseimbangan gender bagi wakil-wakil mereka di parlemen Eropa. Kelompok Hijau atau Aliansi Bebas Eropa memiliki tingkat tertinggi dalam representasi perempuan dengan komposisi 55 persen perempuan .Mereka diikuti oleh Aliansi Liberal dan Demokrat untuk Eropa yang memiliki wakil perempuan 45 persen..Perempuan kini mencapai 23,4 persen dari anggota parlemen nasional di Uni Eropa dibandingkan 76,6 persenlaki-laki.Peningkatan signifikan pada komposisi perempuan wakil terjadi di Islandia Utara , dari dari 33 persen menjadi 43 persen. Demikian pula halnya di Norwegia dari 36 persen menjadi 39 persen.

Mary Robinson mantan Ketua dewan HAM PBB, juga Presiden Perempuan pertama Irlandia (Deutsche Welle,9 Maret 2011) mengemukakan sumber masalah belum berkembangnya representasi perempuan di parlemen karena sistem sosial yang masih memelihara nilai-nilai tradisional .Hambatan tradisonal juga masih sangat kuat pengaruhnya bukan saja dalam menghalangi perempuan untuk mencalonkan diri, namun menjadi faktor penentu.Masalah lain adalah keterbatasan sumberdana ,beban kewajiban keluarga yang tidak seimbang serta rendahnya kepercayaan di kalangan masyarakat yang didominasi kultur lelaki.Oleh karena itu,menurut Mary Robinson tanpa kuota sangatlah sulit untuk mengubah keseimbangan gender di bidang politik .

Tentu saja, sekadar pencantuman dasar hokum bagi kuota perempuan di lembaga legislatifsepanjang faktor-faktor sosialdan ekonomi juga budaya masihmenjadi kendala berat yang harus diatasi oleh perempuan yang ingin menjalani karir politik. tidak cukup,

Penguatan perempuan di parlemen dalam konteks perwujudan kedaulatan rakyat melalui pemilu harus lebih ditingkatkan dengan memperluas peran LSM serta ormas yang memperjuangkan kesetaraan gender.

Program-program dan aksi politik minimal yang dapat dikembangkan antara lain; Pertama , memperjuangkan adanya sistem pemilu yang jelas dan tegas mengatur kuota perempuan, termasuk rincian aturan dalam daftar calon sementara dan daftar calon tetapanggota legislatif di berbagai tingkatan , DPR sampai ke DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Di samping itu , penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU beserta jajarannnya ke bawah harus mengawasi pelaksanaan kebijakan kuota yang telah diatur secara hukum tersebut.Kritik bahkan sanksi atas pengabaian ketentuan tentang kuota perempuan harus berjalan .

Kedua, mengembangkan kerjasama dengan partai politik peserta pemilu baik dalam rangka pengawasan kuota perempuan mau pun dalam hubungan dengan dukungan politik secara khusus terhadap perempuan bakal calon anggota legislatif. Dalam hubungan ini ,dorongan agar partai politik melaksanakan politik kesetaraan gender dalam menyusun kepengurusan harus terus dilakukan .
 
Ketiga, pelatihan kompetensi dan komunikasi politik dengan peserta perempuan yang merupakan hasil penyaringan perempuan yang memiliki potensi politik, direkrut dari seluruh daerah di Indonesia, tidak terpusat hanya dari Jakarta dan Jawa;

Keempat, diskusi rutin dikalangan aktivis perempuan membahas isu-isu politik strategis maupun aktual menghadirkan narasumber yang dikenal mempunyai kompetensi sesuai bidangnya. Kegiatan inimempunyai fungsi praktis untuk mengatasi alah satu gejala yang diamati muncul pada diskusi semacam ini yakni kurangnya partisipasi aktif perempuan mengkomunikasikan gagasan dalam diskusi terbuka.

Kelima, terlibat dalam kegiatan advokasi pembelaan hak-hak rakyat khususnya yang menyangkut kesetaraan gender atau masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berbasis gender untuk pematangan dalam penguasaan masalah-masalah hak asasi manusia dan masalah –masalah politik.

Keenam, mendorong agar tokoh-tokoh  perempuan yang sudah menjadi anggota legislatif untuk melibatkan diri dalam aktivitas pelatihan politik bagi perempuan yang akan menempuh karir di parlemen .

Ketujuh, mengkomunikasikan gagasan tentang arti penting partisipasi politik perempuan diparlemen baik melalui media cetak ,termasuk media cetak yang dikelola secara khusus,media elektronik dan media jejaring sosial.

Pemilu 2014 yang masih menyisakan waktu sekitar 27-28 bulan cukup memadai untuk merancang dan melaksanakan program serta aksi politik tersebut di atas guna meningkatkan jumlah serta kualitas perempuan sebagai wakil rakyat di DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar