Argumentasi Gerakan Intelektual PMII

 Jaelani SF
Ketua Bidang Pengembangan Potensi Akademik PB PMII
Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia
menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat. Antonio Gramsci (1891-1937).

Sejak Tahun 1960 sampai hari ini, PMII terus tumbuh menjadi organisasi yang memproduksi kader secara terus-menerus. Dengan berlandaskan Islam Ahlusunnah wal jamaah sebagai landasan teologinya, PMII harus mampu “mendayung” ditengah rotasi zaman yang serba kompleks dan berubah secara terus-menerus. Salah satu penandanya adalah dengan jumlah cabang definitive 225, Pengurus Koordinator Cabang berjumlah 20 dan beberapa jumlah Cabang persiapan. Fakta seperti ini menandakan dinamika yang cepat pada lajur pertumbuhan organisasi. Konsekuensinya, pada saat yang bersamaan, ditengah ‘massifikasi pertumbuhan PMII itu’, kita ditantang zaman untuk menyeimbangkannya dengan kualitas dinamika yang sama dilajur perkembangan organisasi. 

Diruang Kebangsaan yang lebih Lebar, Islam Ahlusunnah waljamaah yang disebutkan di PMII sebagai Islam Indonesia, mendapat serbuan yang begitu kencang—dengan berkecambahnhya wacana islam radikal yang meletup di bebrapa daerah, sehingga berlanjut dengan ledakan konflik. Tentulah kita belum lupa dengan peristiwa penyerangan ahmadiyah di ceukesik dan banten, atau konflik pembangunan gereja Yasmin di Bogor atau konflik berbau agama di Maluku.

Pada konteks yang demikian, mau tak mau, PMII harus mengkampanyekasn“islam yang ramah—bukan islam yang marah” serta menampilkan perannya sebagai garda terdepan pergerakan kaum muda berhaluan Islam Ahlussunnah wal jamaah. Apa yang disebut Nahdlatul Ulama sebagai Islam Rahmatan lil Alamin haruslah diterjemahkan dalam praktik-praktik nyata pergerakan. Jika tidak begitu, maka Islam Rahmatan lil Alamin bukan saja berhenti menjadi klaim dan fosil pemikiran, tetapi juga, akan punah dari sejarah kebangsaan kita.  



Disisi yang lebih internal, pertumbuhan PMII itu juga menyertai beberapa perkembangan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Diantaranya adalah, pertama, perubahan politik nasional, lebih khususnya adalah perkembangan dinamika politik, yakni pemilihan kepala daerah dan anggota perwakilan secara langsung. Salah satu dampak penting dari perkembangan ini adalah meluasnya pola politik transaksional dimana nilai, gagasan, dan ideologi tidak lagi menjadi ukuran utama, karena “uang menjadi penentu kekuasaan politik”. Kedua, terbukanya ruang komunikasi ditingkat publik, yang ditandai dengan pertumbuhan media massa, disatu sisi, memberi efek banjir informasi, namun, disisi yang lainnya, memberi ruang bagi terkonstruksinya tirani media massa; yang mewakili trend dan mewakili citra politik.

Ketiga, otonomi daerah yang berjalan sejak 1999 juga menandai perkembangan demokratisasi yang sangat penting untuk disikapi. Sebagaimana lazimnya sebuah praktik, maka demokrasi juga memiliki potensi untuk dibajak oleh kekuatan-kekuatan dominan di masyarakat. Kekuatan-kekuatan dominan yang diberi judul oleh teori politik sebagai oligarki politik local-- atau bahkan, dinasti politik. Keempat, tata ekonomi nasional yang terbajak oleh nalar, kepentingan dan desain kapitalisme lanjut (spaatcapitalismus). Keterbajakan historis-structural yang demikian mengakibatkan Negara perjalan sempoyongan diantara pertarungan modal dan kelompok-kelompok nasionalis.

Sedikit fenomena diatas menjadi penegas jikalau masalah yang terjadi dalam hidup berbangsa kita bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Kesimpulannya adalah bahwa fenomena itu juga berada dalam perang pengaruh diantara Negara-negara kuat dan perebutan sumberdaya energy demi mengendalikan Dunia.            

Dengan kompleksitas masalah tersebut, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dituntut untuk lebih memiliki sence terhadap perubahan besar di semua levelnya—sehingga PMII secara individu dan organisasi mampu memposisikan dirinya untuk mengkomandoi perubahan. Semua potensi penting ditimbang sebagai bentuk kesiapan generasi.

Menimbang Mahasiswa dan Perubahan Pemikiran PMII
Mahasiswa yang baru memasuki dunia kampus, memiliki motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh, mengasah intelektual, dan –sebagian besar- sekadar sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat kerja. Salah satu orientasi mahasiswa adalah intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan segenap literatur ilmiah yang diramu dengan nalar kritis dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat.

Namun sayang orientasi yang relatif strategis dalam menjalankan posisi sebagai pioner perubahan di masyarakat ini mulai redup, tergadaikan, dan ditinggalkan. Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya banyak “intelektual” yang menghabiskan diri sebagai “intelektual bebas” lalu merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis.

Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk komunitasnya saja. Aktivis yang bergerak pada ranah ini sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik  yang mampu mempertautkan teori dan praksis sebagaimana dituju oleh Mazhab Frakfurt agar lebih berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial.

Ini menjadi pijakan sekaligus argumentasi tentang fenomena kaum intelektual sekaligus memperkuat bahwa kaum intelektual pada dasarnya bersifat progresif revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan intelektual sebagai berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis. Dan sebagai kritikus, kaum intelektual menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan bijak.

Sejatinya insan intelektual dengan beberapa kualifikasi seperti di atas bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum intelektual lahir dari luar benteng menara gading kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual.

Sebaliknya banyak jebolan perguruan tinggi yang lebih tepat digolongkan sebagai intelegensia daripada intelektual. Intelegensia menurut Gouldner (1979) adalah mereka yang minat intelektualnya secara fundamental bersifat teknis. Hal ini karena sebagai produk perguruan tinggi mereka telah menerima pendidikan yang membuat mereka mampu memegang pekerjaan sesuai dengan bidang dan profesi ilmunya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dimana posisi Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di ranah ini?. Meskipun--sepanjang sejarah berdirinya Organisasi PMII, telah banyak berkontribusi secara gagasan, penting rasanya kita merefleksikan dua hal, pertama; PMII secara organisasi telah menjadi subkultur  yang memiliki citra sendiri, memiliki kebebasan berekspresi (dalam konteks gagasan) dan memiliki kecenderungan untuk berinovasi dalam konteks gerakan. Hal inilah yang memungkinkan PMII untuk mengkunstruksi beragam pemikiran secara intelektual untuk menci[ptakan perubahan yang dicita-citakan.

Kedua; Warga pergerakan mesti merefleksikan lagi kedisiplinan Berfikir dan Bergerak. Pada titik ini kita dapat mencermati arus perubahan wacana kader PMII. Terlebih sejak di adopsinya “paradigma” dalam wacana gerakan PMII pada Tahun 1997 yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat pinggiran . Poin mendasar yang ditegaskan dalam paradigma ini ada dua hal; selain analisis tentang Restrukturisasi politik oleh Rezim orde baru, hal yang juga tidak kalah penting adalah Identitas diri PMII yang menggambarkan latar belakang historis, sosio-cultural dan sumber daya yang dimiliki, sebagai gerbong pergerakan kaum muda tradisionalis.

Dalam Paradigma ini dikatakan secara tegas bahwa Dalam konteks disiplin keilmuan, warga PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama dan humaniora. Sementara itu ilmu-ilmu eksakta tidak mendapat ruang sehingga tidak menjadi diversifikasi peran kelmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora .

Pada fase Selanjutnya Kita Hadir Paradigma Kritis Transformatif  yang merupakan perwujudan lebih filosofis dan sosiologis dari paradigma sebelumnya (Arus balik masyarakat Pinggiran). Paradigma Kritis Transformatif memiliki Karakteristik utama  yaitu : Prespektif Paradigma Kritis transformatif, menawarkan oprik untuk melakukan penafsiran sejaran dan teori perubahan. Secara geneologis, PKT terkait dengan teori kritis sebagai kritik atas masyarakat kapitalis modern. Dengan prespektif itu, bacaan terhadap masyarakat bukan sebatas ekonomi politik marxistik yang yang reduksionistik, namun juga membaca the dominan idiologi. Epistimologi sosial masyarakat yang menguasai gagasan masyarakat (proses formatif yang saling eksklusi antar wacana social). Psikososial yang membaca konstruksi bathiniah masyarakat. Berbagai variabel diatas tidak dipandang senantiasa ordinat dan subordinat. Berbeda dengan pendekatan marxis, misalnya yang hanya percaya perubahan politik (revolusi politik) menjadi kata kunci segala perubahan. Suprasturktur di subordinasikan pada basis struktur berupa corak produksi masyarakat atau varian lain dari marxisme/sosialisme yang menggeser determinisme ekonominya.

Paradigma ini menurunkan konsep rekayasa sosial yang mempercayai perubahan non-determinis, karena perubahan bias dilakukan dalam berbagai pintu, baik itu pintu politik, deseminasi gagasan, dan penguatan civil society, kebudayaan transformative, gerakan gender, sampai pada gerakan sosial keagamaan transformatif yang diperankan oleh agamawan muda liberatif. Dengan paradigm tersebut, gerakan PMII menjadi terdeseminasi, namun tetap mengandalkan sinergitas pergerakan. Ada yang fokus pada gerakan massa, ada yang fokus pada gerakan social transformative, ada yang focus pada gender, ada yang focus pada kajian pengembangan pemikiran sosial keagamaan alternative, sampai ada yang focus pada dakwah misalnya.

Gambaran diatas telah menegaskan bahwa Paradigma yang lebih difahami sebagai cara pandang PMII terhadap realitas telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat berarti terhadap generasi hari ini, Paradigma Kritis Transformatif (PKT) misalnya, telah merintis jalan untuk mengelola sistem gerak yang multi-front.

Secara konstitusi paradigma ini tetap menjadi cara baca PMII terhadap realitas, namun mesti disadari bahwa dengan perubahan zaman yang justru lebih kompleks, PMII masih berkutat dengan perbedaan tafsir paradigmatik organisasi, meskipun ini dimaknai sebagai dinamika internal—tetapi jika dianalisis lebih jauh, hal ini menjadi problem mendasar, karena distribusi pengetahuan di PMII tidak merata. Hal yang kemudian muncul adalah hanya beberapa lokus yang “dominan” pada sisi pengetahuan.

Kesenjangan yang terlalu jauh pada sisi pengetahuan ini, menjadi tantangan tersendiri secara struktural dan kultural PMII—karena mesti membangkitkan semangat yang sama dalam konteks kedisiplinan Berfikir dan bergerak secara kolektif, dan gerakan Intelektual menjadi salah satu ikhtiyar yang tidak terpisahkan dari problematika ini.

Gerakan Intelektual PMII; Membangun Pengertian--dengan Masalah Kita Sendiri
Citra diri Gerakan intelektual-PMII adalah Intelektual transformatif yang memiliki tanggungjawab untuk menjadikan kampus sebagai medam “pertarungan” dengan menginternalisasi kesadaran akan pentingnya pengetahuan dalam benak mahasiswa. Penegasannya bahwa mahasiswa yang menyandang predikat sebagai kaum intelelektual tentunya tidaklah cukup hanya dituntut memperkaya wawasan dan memperkuat bangunan ilmu pengetahuan untuk kebutuhan mereka sendiri. Tetapi tugas utama mereka di jenjang universitas adalah untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan basis akademis tanpa menghilangkan kesadaran ruang”—dimana mereka berpijak.

Karena ciri kaum intelektual adalah sosok yang reflektif dan mencerahkan, tidak hanya sebatas dalam intelektual enrichment tetapi juga intelektual enlightment. Maka konsekuensi logisnya adalah kaum intelektual dituntut dapat memberikan pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya dengan khasanah-khasanah keilmuan yang mereka miliki. Senada dengan yang dikatakan Antonio Gramsci dalam bukunya “The Prison Notebook: Selections”, bahwa semua orang boleh mengaku dirinya intelektual. Akan tetapi belum tentu semua orang memiliki fungsi intelektual.

Adapun orang yang dikategorikan mempunyai fungsi intelektual, pertama adalah “intelektual tradisional”; yaitu sosok intelektual yang selalu menebarkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan wawasan-wawasan yang dia miliki, sebagai contoh : guru, da’i, dan sebagainya. Kedua, “intelektual organik” atau lebih popular disebut dengan istilah “intelektual profetik” atau “intelektual transformatif”, yakni merupakan sosok intelektual yang selalu peka terhadap problematika sosial yang ada, dan sebisa mungkin mentransformasikan kondisi sosial ke arah yang ke arah yang lebih baik.

Tentulah kita menyadari kekurangan kita secara organisasi sehingga kita akan sama-sama mengerti akan problem internal dan perubahan diruang eksternal organisasi. Maka jelaslah bahwa Intelektual PMII dituntut untuk peka dan berusaha mengentaskan masyarakat dari bencana kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan, krisis kemanusiaan, tuna moral, tuna sosial, tuna intelektual, dan sederet permasalahan lainnya.

Pada titik Inilah Gerakan Intelektual PMII penting untuk di Inisiasi kembali, sebagai wujud tanggaung Jawab Moral dan Pengetahuan PMII secara Organisasi—yang kemudian pada fase selanjutnya akan menjadi produksi gagasan yang dimaterialisasi dalam sistem gerak organisasi pada semua level. Semoga PMII dapat Membangun Pengertian dengan segenap Kompleksitas masalahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar